Paket Internet Starlink Rp750.000 untuk Siapa?

Leo Dwi Jatmiko
Jumat, 24 Mei 2024 | 17:35 WIB
Sebuah roket SpaceX Falcon 9 yang membawa batch ke-19 dari sekitar 60 satelit Starlink diluncurkan dari pad 40 di Cape Canaveral Space Force Station. Reuters
Sebuah roket SpaceX Falcon 9 yang membawa batch ke-19 dari sekitar 60 satelit Starlink diluncurkan dari pad 40 di Cape Canaveral Space Force Station. Reuters
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Paket internet Starlink yang senilai Rp750.000 per bulan dinilai masih terlalu mahal bagi warga yang tinggal di wilayah rural atau terpencil. Kehadiran Starlink yang dapat meningkatkan penetrasi Internet Indonesia, masih jadi pertanyaan. 

Pada Minggu (19/5/2024) Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan percaya diri menyampaikan bahwa kehadiran internet Starlink di Indonesia bisa meningkatkan akses informasi di daerah   tertinggal, terdepan dan terluar (3T). 

Pernyataan disampaikan Luhut selepas menyambut Bos SpaceX sekaligus Tesla Inc., Elon Musk di Banda Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, sekitar pukul 08.00 WITA. 

Lewat penetrasi layanan Starlink itu, Luhut berpendapat, akses internet bisa makin merata di seluruh provinsi, khususnya daerah 3T. 

"Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil bisa menikmati akses informasi dan jaringan internet cepat sama seperti halnya mereka yang tinggal di wilayah perkotaan," kata dia. 

Luhut Binsar Pandjaitan berfoto bersama CEO SpaceX Elon Musk
Luhut Binsar Pandjaitan berfoto bersama CEO SpaceX Elon Musk

Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai narasi yang dibangun pemerintah perihal penetrasi internet yang meningkat karena adanya Starlink, kurang tepat. Bahkan, narasi tersebut terkesan seperti gimik atau hanya untuk menarik simpati dan perhatian. 

“Kalau saya meyakini bahwa narasi Starlink melayani daerah rural atau 3T hanya gimmick. Karena, regulasi kita tidak membatasi layanan untuk daerah 3T atau rural saja, melainkan bersifat nasional,” kata Heru kepada Bisnis. 

Selain tidak ada pembatasan layanan, salah satu pertimbangan narasi tersebut kurang tepat adalah perihal daya beli masyarakat di daerah rural.

Diketahui, kemampuan daya beli masyarakat terhadap layanan internet masih rendah. Masyarakat Indonesia, baik di perkotaan maupun di daerah rural, cenderung menganggarkan biaya yang relatif kecil untuk membeli paket internet mengingat tingginya biaya kehidupan sehari-hari karena inflasi. 

Survei APJII mengungkapkan pada 2023, mayoritas masyarakat (85%) menghabiskan uang dalam sebulan untuk membeli paket internet seluler sebesar Rp10.000- Rp100.000  

Kemudian untuk layanan internet tetap atau internet rumah, sebanyak 66,2% masyarakat berlangganan internet dengan tarif di kisaran Rp300.000 - Rp500.000 dan 26,18% untuk harga Rp300.001 - Rp500.000. 

Nilai tersebut jelas di bawah harga langganan terendah Starlink yang sebesar Rp750.000 per bulan. Artinya, hanya segelintir masyarakat yang mampu membeli internet Starlink atau ada hal yang dikorbankan jika ingin membeli layanan internet berbasis satelit tersebut. 

“Sebab kemampuan ekonomi masyarakat di daerah 3T atau rural maksimal Rp100.000 per bulan. Bisa sih dengan reseller, untuk beberapa pengguna, tetapi kan reseller ilegal melanggar hukum,” kata Heru.

Pengguna mengukur kecepatan internet
Pengguna mengukur kecepatan internet

Senada, Sekretaris Umum Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) Zulfadly Syam mengatakan jika segmentasi layanan Starlink adalah per keluarga, maka belum tepat dengan tarif Rp750.000 per bulan. Tetapi, untuk sekolah dan puskesmas, mungkin dapat menjadi solusi. 

Dia juga mengatakan bahwa masyarakat dapat melakukan sharing dari layanan Starlink, tetapi Zulfadly menegaskan bahwa praktik tersebut ilegal karena dilakukan oleh ISP yang belum mengantongi izin berjualan internet. 

”Tidak semua keluarga di desa mampu membeli perangkat pada kisaran harga Rp5-7 juta, dengan harga bulanan Rp750.000,” kata Zulfadly. 

Zulfadly juga khawatir bahwa kehadiran Starlink hanya akan menimbulkan bahaya keamanan data bagi Indonesia, terlebih Indonesia tidak memiliki kontrol atas Starlink milik Elon Musk. 

Idealisme memangkas kesenjangan digital dan pemerataan akses melalui Starlink, tambah Zulfadly, bertolak belakang dengan ancaman kehilangan kedaulatan data. 

“Ingat, bahwa presiden pernah mengatakan data is gold. Jangan datangkan teknologi komunikasi asing tanpa pengawasan yang baik. Aksesnya mungkin solve, tapi goldnya hilang,” kata Zulfadly. 

Halaman:
  1. 1
  2. 2
Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper