Pengusaha Antariksa Proyeksikan 2027 Indonesia Punya Satelit LEO

Leo Dwi Jatmiko
Kamis, 21 Agustus 2025 | 19:38 WIB
Sebuah roket SpaceX Falcon 9 yang membawa batch ke-19 dari sekitar 60 satelit LEO diluncurkan dari pad 40 di Cape Canaveral Space Force Station. Reuters
Sebuah roket SpaceX Falcon 9 yang membawa batch ke-19 dari sekitar 60 satelit LEO diluncurkan dari pad 40 di Cape Canaveral Space Force Station. Reuters
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA —  Asosiasi Antariksa Indonesia (Ariksa) berharap pada 2027 atau 2 tahun lagi Indonesia dapat meluncurkan satelit orbit rendah atau low earth orbit (LEO) pertamanya. Sejumlah langkah disiapkan termasuk pengembangan space port atau tempat peluncuran roket untuk satelit LEO. 

Satelit LEO adalah satelit yang mengorbit di ketinggian 500 kilometer - 2.000 kilometer di atas permukaan bumi. Karena ketinggiannya yang relatif dekat bumi, ongkos roket yang dipakai relatif lebih murah dibandingkan satelit GEO yang mengorbit di ketinggian 36.000 kilometer. 

Namun harus diingat, satelit GEO cukup diluncurkan satu kali untuk memberi layanan di seluruh antero bumi. Sementara LEO harus beberapa kali konstelasi satelit karena untuk memberikan cakupan layanan di seluruh bumi, dibutuhkan ratusan satelit LEO.

“Tahun 2027 kita paling lambat meluncurkan LEO atau roket dari Indonesia,” kata Ketua Umum Asosiasi Antariksa Indonesia (Ariksa) Adi Rahman Adiwoso di Jakarta, Kamis (21/8/2025).

Dia mengatakan untuk mensukseskan langkah besar ini dibutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan dan ekosistem. 

Adi Rahman mengatakan industri antariksa memiliki peranan penting dalam mendukung berbagai sektor di Indonesia mulai dari ekonomi hingga pertahanan. Saat ini fokus dalam pengembangan antariksa masih terpecah belah. Oleh sebab itu Ariksa dibentuk agar seluruh pemangku kepentingan memiliki misi bersama dalam membangun antariksa yang memberikan manfaat bagi Indonesia.

Ada tiga hal yang harus menjadi fokus dalam pengembangan antariksa dalam negeri. Pertama, kebijakan yang berpihak dan ramah investasi. Kedua, pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang sejalan dengan pertumbuhan industri.

Terakhir, model bisnis.  “Bisnisnya supaya itu berputar semuanya,” kata Adi.

Adi mengatakan industri antariksa telah berevolusi sebagai industri IT berubah. Pada era 90-an revolusi IT atau internet itu menuju kepada public service atau sharing of information. Perusahaan over the top seperti Facebook, Google hingga Microsoft yang menjadi perusahaan umum pada '90-an dikenal sebagai startup. Saat ini mereka telah mengubah pandangan orang dan nilainya sudah triliunan dolar. 

Kondisi yang sama akan terjadi di industri antariksa dunia. Salah satu indikasinya adalah anggaran besar yang dihabiskan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China dalam pengembangan industri luar angkasa. 

Adi mengatakan dalam 5-6 tahun ini Amerika Serikat telah menghabiskan dalam sekitar US$200 miliar dengan perincian NASA sebesar US$20 miliar, Space Force sebesar US$80 miliar dan pemerintah AS sebesar US$100 miliar. 

Kemudian Eropa menghabiskan sekitar US$50 miliar - US$56 miliar per tahun untuk pengembangan industri luar angkasa. 

“Cina, ditambah dengan India dan lainnya, kami mengestimasi sekitar lebih dari US$200 miliar. Sehingga banyak perusahaan rintisan semuanya mencari jalan mendapatkan proyek-proyek dari US$200 miliar per tahun itu. Dan ini sudah konstan terjadi lebih daripada 5 tahun,” kata Adi. 

Adi juga mengatakan investor dan perusahaan raksasa juga bermain di sektor antariksa. Mereka mengembangkan layanan antariksa dan berinvestasi di perusahaan startup. Rocket Lab, kata Adi, dahulu hanya memiliki valuasi US$2 miliar. Saat ini telah berkembang menjadi US$15 miliar. 

“SpaceX dengan Starlink dan segala macamnya sekarang private valuation-nya itu mendekati US$400 miliar. Akan menjadi 1 triliun dolar,” kata Adi.

Dia mengatakan perusahaan-perusahaan yang awalnya berukuran kecil itu kini telah menjadi perusahaan besar dan memberi dampak signifikan. Indonesia dapat meniru hal itu. 

Melalui Ariksa, Adi berharap fokus pengembangan antariksa Indonesia yang saat ini masih tercecer di berbagai perusahaan swasta, lembaga hingga kementerian, ke depan dapat menyatu dan memiliki visi sama. 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami