Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan spektrum frekuensi 3,3 GHz belum direncanakan untuk dibuka secara gratis atau unlicense untuk berbagai provider, termasuk IoT.
Analis Kebijakan Ahli Madya Kemenkominfo Adis Alifiawan mengatakan frekuensi di rentang 3,3 GHz - 3,4 Ghz ini masih menyatu bandplannya dengan pita frekuensi 3,5 GHz.
“Maka direncanakan ke depan akan dimanfaatkan untuk teknologi seluler ataupun teknologi bergerak internasional (IMT),” ujar Adis kepada Bisnis, Senin (13/11/2023).
Sebagai informasi, sebelumnya Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia, Teguh Prasetya mengharapkan frekuensi 3,3 GHz turut dibuka menjadi class licence dengan metode teknologi netral.
Hal ini dikarenakan saat ini spektrum yang memiliki luas hingga 100 MHz tersebut sedang dipakai oleh teknologi lain. “Karena ada peraturan yang mengatakan dulu teknologinya dipakai untuk WiMAX, akhir tahun ini baru bisa dipakai,” ujar Teguh kepada wartawan, Kamis (9/11/2023).
Selain itu, Adis mengatakan untuk sekarang ini IoT juga tidak memiliki alokasi frekuensi khusus, karena IoT merupakan aplikasi dan bukan radio komunikasi.
Namun, Adis mengatakan para provider IoT dapat tetap terkoneksi dengan banyak cara dan teknologi, salah satunya dengan memanfaatkan frekuensi izin kelas.
Teknologi berbasis izin kelas antara lain adalah jaringan radio area lokal (RLAN), jaringan area luas dengan power rendah (LPWAN), dan jaringan untuk perangkat jarak dekat (SRD).
“Untuk konektivitas IoT yang memanfaatkan frekuensi izin kelas, bisa dicek daftar frekuensinya di PM Kominfo No. 2 Tahun 2023, diawali dari batang tubuh di Pasal 8,” ujar Adis kepada Bisnis, Senin (13/11/2023).
Adapun berdasarkan regulasi tersebut, ada setidaknya 61 jenis spektrum frekuensi radio, mulai dari 3 KHz hingga 77 GHz yang dapat dimanfaatkan oleh industri ataupun provider, termasuk industri IoT.
Bergerak lambat
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengaku saat ini memang sudah banyak penggunaan IoT di berbagai sektor industri, tetapi skalanya masih belum terlalu besar.
Heru mengungkapkan, hal ini tidak terlepas dari besarnya biaya yang dibutuhkan untuk membeli dan mengoperasikan IoT.
“Biaya ini yang banyak perusahaan merasa tidak perlu otomatisasi, karena butuh pembiayaan baru. Kecuali memang, penggunaan IoT ini dapat meningkatkan produk mereka, dapat menghemat,” ujar Heru.
Heru mengatakan banyak perusahaan yang menganggap penggunaan IoT sebagai pemborosan, karena tanpa teknologi ini, produksi perusahaan sudah berkembang pesat.
Selain itu, Heru mengutarakan kendala perkembangan IoT juga dikarenakan masalah spektrum dan jaringan akses. Menurutnya, saat ini spektrum yang disediakan pemerintah untuk IoT masih sangat kurang.
Heru mengaku sebenarnya untuk IoT, pemerintah sudah dapat memanfaatkan sejumlah spektrum frekuensi gratis, yang berada di 2,4 ghz dan 5,8 ghz. Namun, Heru mengatakan saat ini spektrum frekuensi tersebut tidak hanya digunakan oleh IoT, sehingga lalu lintas data menjadi padat.
Oleh karena itu, Heru mengusulkan kepada pemerintah untuk membuka spektrum frekuensi khusus baru agar IoT dapat berkembang.
Selain itu, terkait frekuensi unlicensed, Heru berharap pemerintah juga mengatur frekuensi ini agar dapat dimanfaatkan dengan baik oleh semua pelaku industri.
“Ketika penggunaan frekuensi di gratiskan, pengalokasiannya seperti apa, karena kalau penggunaannya tidak diatur, hal ini bisa menyebabkan kisruh, tidak maksimal, tidak dapat dimanfaatkan dengan baik,” ujar Heru.
Sebagai informasi, Asosiasi IoT memperkirakan pada 2025 mencapai nilai pasar IoT mencapai US$40 miliar atau sekitar Rp626,4 triliun dengan 678 juta perangkat terhubung ke internet.
Lebih lanjut, Asioti juga memperkirakan pada 2045 ditargetkan setiap penduduk Indonesia memiliki sekitar 22 perangkat Internet of Things. Hal ini pun termasuk smart wearable, wireless headphone, lampu pintar, dan lain sebagainya.