Bisnis.com, JAKARTA - Pada 2006, Otoritas Teknologi Informasi dan Komunikasi Turki membangun Central Equipment Identity Register (CEIR) dengan tujuan untuk mencegah penggunaan telepon seluler yang tidak terdaftar. Turki menyatakan perang melawan gawai ilegal.
Belum diketahui apakah Turki menjadi negara pertama yang secara tegas melarang peredaran gawai ilegal, tetapi berdasarkan laporan yang dipaparkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam sosialisasi mengenai pemblokiran IMEI di Batam, Selasa (3/12/2019), Turki menjadi negara urutan teratas yang telah menerapkan pembatasan gawai ilegal
Turki sadar demi menyelamatkan pendapatan pajak dan menjaga iklim persaingan industri seluler agar tetap sehat, gawai ilegal harus ditutup kerannya. Sistem tersebut terbilang sukses.
CEIR berhasil mendeteksi sekitar 14.308.239 gawai dengan nomor IMEI yang tercatat sebagai daftar hitam akibat diselundupkan, dicuri dan diduplikasi sejak 2010.
Setelah itu, demam blokir IMEI pun menyebar dan menjangkit negara lainnya. Pada 2010, Pemerintah Mesir meniru hal yang sama. Mesir juga mendirikan CEIR untuk membatasi terminal yang memiliki IMEI illegal, palsu, dan kembar.
CEIR versi Mesir pun berhasil mengidentifikasi 3.5 juta terminal dengan nomor IMEI illegal /tidak sesuai dengan yang dikeluarkan GSMA, 250.000 terminal dengan nomor IMEI kembar, 500.000 terminal dengan nomor IMEI palsu, 350.000 terminal dengan semua digit 0 dan 100.000 terminal tanpa nomor IMEI.
Demikian juga Uganda, Komisi Komunikasi Uganda (UCC) melaksanakan program yang bertujuan menghilangkan secara bertahap telepon seluler palsu dari pasar Uganda sejak beberapa tahun lalu.
Peredaran gawai ilegal di Uganda terbilang akut. Sebuah studi menyebutkan bahwa sekitar 30% dari 17 juta telepon seluler yang diperkirakan beredar di Uganda berasal dari telepon seluler palsu buatan China. Dikarenakan hal tersebut, Pemerintah Uganda gagal menyerap pajak sekitar USh 15 milyar dari para dealer telepon seluler.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
DI INDONESIA
Penyebaran Gawai dengan IMEI Ilegal merata. IHS iSuppli memperkirakan bahwa pasar gelap telepon seluler pada 2013 lalu telah menyusup di semua benua.di Timur Tengah dan Afrika jumlah ponsel gelap yang tersebar saat itu diperkirakan mencapai 38,2 juta unit.
Amerika Tengah dan Amerika Latin jumlahnya diperkirakan mencapai 37 juta unit. Adapun di Asia Pasifik, teramsuk Indonesia, diperkirakan angkannya mencapai sekitar 103 juta unit ponsel gelap.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang padat menjadi pasar yang empuk untuk pasar gawai ilegal. Menurut laporan Strategic Analytics, jumlah gawai ilegal di Indonesia pada 2017 diperkirakan mencapai 6 juta unit, angka tersebut terus menurun tiap tahunnya, pada 2018 menjadi 5,3 juta unit, 2019 diperkirakan 4,5 juta unit dan pada tahun 2020 diperkirakan 3,7 juta unit.
Pemerintah pun fokus memberantas gawai dari pasar gelap atau black market. Pemerintah ingin mengejar potensi pendapatan pajak sekitar Rp3 triliun yang hilang karena gawai ilegal beredar.
Awalnya, pemberantasan gawai ilegal dilakukan dengan pengawasan label oleh Kementerian Perdagangan. Namun, saat ini pemerintah mencoba menggunakan sistem teknologi. Pemeritahan mencoba menerapkan sistem dengan memblokir gawai yang memiliki International Mobile Equipment identity (IMEI) ilegal, palsu dan kembar.
Komitmen pemerintah dibuktikan dengan lahirnya regulasi dari tiga kementerian yaitu, Kemenkominfo, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Regulasi yang ditandatangani beberapa bulan lalu itu pun kini memasuki tahap sosialiasi dan penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan pemblokiran serta uji coba.
Pemerintah menargetkan peraturan teknis mengenai pemblokiran IMEI rampung sebelum 18 April 2020. Untuk mengejar target tersebut, Kemenkominfo akan menyusun regulasi sekaligus menggelar uji coba secara bersamaan.
Dalam uji coba tersebut, pemerintah akan melihat keandalan metode pemblokiran IMEI dengan menggunakan dua data yaitu, nomor IMEI dan data unik identitas pelanggan.
Jika dengan dua data saja pemblokiran dapat dilakukan dan memadai, maka pemerintah cukup mewajibkan operator mengumpulkan dua data tersebut ke mesin SIBINA, mesin mendeteksi IMEI ilegal.
Namun, jika hasilnya kurang memadai, pemerintah akan meminta operator mengumpulkan tiga sampai lima data untuk blokir IMEI.
Adapun, kelima data atau field tersebut yaitu, field tanggal ketersambungan dengan sistem pengendali IMEI, International Mobile Subscriber Identity (IMSI ), MSISDN, Radio Acces Technology (RAT) dan IMEI.
Konteks memadai menurut Pemerintah ketika sistem pengawasan IMEI tidak hanya mampu membaca IMEI ilegal dan legal, namun juga ketika sistem mampu membedakan antara IMEI palsu atau kloning dengan IMEI asli.
Pengumpulan lima field data ini menjadi beban bagi Operator seluler. Operator sebagai ujung tombak blokir IMEI, khawatir seluruh data yang dikumpulkan nantinya bocor ke pihak lain. Operator seluler berpegang teguh bahwa keamanan data pribadi pelanggan harus dijaga.
Operator juga meyakini bahwa dengan mengumpulkan dua data, IMEI dan nomor unik pelanggan di MSISDN, sudah dapat mengindentifikasi gawai dengan IMEI ilegal dan non ilegal. Tidak perlu sampai lima.
Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Danny Buldansyah berpendapat bahwa kasus IMEI kembar, sangat jarang terjadi. Dia mengklaim kasus tersebut hanya 5% dari total IMEI yang beredar atau seluruh pengguna gawai.
Dengan mewajibkan pengumpulan lima data pelanggan, maka sama saja seperti mengorbankan data seluruh pengguna gawai demi sebuah kasus yang sangat jarang terjadi.
“Kalau yang 5% kita layani tapi mengorbankan data privasi untuk 95% pelanggan kan sayang. Jadi menurut saya yang terpenting adalah IMEI saja yang dikumpulkan, kalau ilegal ya diblok,” kata Danny kepada Bisnis.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menilai bahwa kekhawatiran operator seluler masuk akal. Isu mengenai pengumpulan lima field data yang dikaitkan dengan data privasi terjadi karena pemerintah tidak memiliki kepastian soal keamanan data pribadi.
Misal IMEI dikumpulkan, kemudian ada penyalahhgunaan, siapa yang bertanggung jawab? Mekanisme pemulihan seperti apa? Sanksi bagi pihak yang memanfaatkan data yang bocor, seperti apa? Hal tersebut tidak terjawab.
Di luar negeri, pemblokiran IMEI bisa berjalan mulus karena ada payung hukum yang mengatur. Meskipun, kata Djafar, pemblokiran IMEI di luar negeri sangat jarang dilakukan karena ada potensi bocor dan potensi pemantauan aktivitas warga oleh pemerintah.
Nasi telah menjadi bubur. Pemerintah telah mengetok palu. Peta jalan pemblokiran IMEI harus jalan pada 18 April 2020. Lain cerita jika direvisi.
Peluang Indonesia untuk menjadi seperti Turki, Mesir dan Uganda masih terbuka. Dengan catatan. Pertama, pemerintah mampu menjaga data pelanggan yang diberikan operator. Kedua, benar-benar memanfaatkan data tersebut hanya untuk menghalau peredaran gawai dari pasar gelap.
Pertanyaannya, selama ini peraturan yang diterapkan pemerintah berjalan mulus kah? Sesuai dengan niat awal? Mari sedikit berkaca pada regulasi regristrasi kartu prabayar.