Polemik Predatory Pricing Starlink, KPPU hingga Indosat Buka Suara

Rika Anggraeni
Kamis, 23 Mei 2024 | 07:00 WIB
Perangkat Starlink. / dok. Starlink
Perangkat Starlink. / dok. Starlink
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Starlink yang baru saja meresmikan layanannya di Indonesia beberapa waktu lalu menuai polemik usai muncul dugaan praktik jual rugi atau predatory pricing.

Dugaan tersebut mencuat usai perusahaan penyedia jasa layanan internet via satelit tersebut melakukan banting harga perangkat dari yang sebelumnya dibanderol Rp7,8 juta menjadi Rp4,68 juta.

Starlink milik Elon Musk ini menawarkan tiga jenis paket layanan internet, mulai dari residensial (rumah), jelajah (berpergian), dan kapal (perairan).

Paket residensial, misalnya, harga layanan standar Starlink dibanderol senilai Rp750.000 per bulan dengan kuota tanpa batas. Untuk paket jelajah dipatok lebih tinggi, yakni Rp990.000 per bulan (mobile regional) dan Rp4,34 juta per bulan (prioritas mobile 50 GB).

Pengamat telekomunikasi menilai Starlink berpeluang besar melakukan strategi predatory pricing dengan banting harga layanan untuk memikat masyarakat agar mau berlangganan.

Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan bahwa potensi tersebut terbuka lebar, mengingat Starlink merupakan pendatang baru penyedia internet di Tanah Air.

“Potensinya [melakukan predatory pricing] sangat besar karena sebagai pendatang baru, maka yang bisa jadi andalan adalah tarif murah. Apalagi masyarakat Indonesia price sensitive, yang lebih murah yang dipilih,” kata Heru, Selasa (21/5/2024).

Menurut Heru, pemerintah harus memberikan kewajiban kepada Starlink berupa pelaporan tarif kepada regulator sebelum ditawarkan pada masyarakat. Di samping itu, regulator juga harus mengevaluasi tarif Starlink sehingga persaingan di industri telekomunikasi bisa tetap sehat.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) buka suara terkait adanya risiko Starlink yang dikhawatirkan bisa melakukan strategi jual rugi produk layanan internet alias predatory pricing di Indonesia.

Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo Usman Kansong mengatakan bahwa Kemenkominfo akan memantau pergerakan Starlink di Indonesia.

“Kita memantau, kita lihat apakah terjadi [predatory pricing]. Nanti kita lihat, kalau memang katanya dia sudah menawarkan harga yang murah, kita lihat dan kita pantau,” kata Usman saat dihubungi, Selasa (21/5/2024).

Lebih lanjut, Usman menjelaskan bahwa sejatinya Kemenkominfo telah meminta tiga hal kepada PT Starlink Services Indonesia sebelum beroperasi di Tanah Air.

Pertama, Starlink harus membuka pusat operasional jaringan [network operation center/NOC] di Indonesia untuk kepentingan perlindungan data.

Kedua, Starlink memiliki layanan pelanggan (customer services) agar permasalahan bisa ditampung dan diselesaikan di Indonesia. Ketiga, pajak yang harus dipatuhi oleh satelit milik Elon Musk.

Terkait dengan predatory pricing, Usman menyampaikan bahwa pemerintah telah memiliki regulasi yang mengatur hal ini, yakni UU No. 5/1999 tentang Larangan Paktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sementara itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai bahwa keberadaan Starlink belum mengarah ke predatory pricing kendati satelit milik Elon Musk itu sudah mulai menurunkan harga perangkat.

Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan bahwa terdapat banyak hal yang perlu dilihat antara Starlink dan predatory pricing, mulai dari pasar, promosi, hingga harga yang wajar.

“Belum ke sana [adanya predatory pricing],” kata Deswin, Selasa (21/5/2024).

Menurutnya, penurunan harga yang dilakukan Starlink merupakan sebagai bentuk strategi pemasaran yang tidak dilarang. Hal yang paling penting adalah apakah Starlink bersaing langsung dengan produk jasa internet lain.

Peluang Kolaborasi Operator Lokal

Namun, di sisi lain, PT Indosat Tbk. (ISAT) atau Indosat Ooredoo Hutchison justru menyambut baik masuknya layanan Starlink dan memandang bukan sebagai suatu kompetisi. 

Presiden Direktur & CEO Indosat Ooredo Hutchison Vikram Sinha mengatakan bahwa kehadiran satelit internet milik Elon Musk itu dapat membantu percepatan internet ke daerah pelosok yang belum terhubung akses internet di Tanah Air.

“Saya pikir kita harus memahami ini, bahwa ini [Starlink] bukanlah sebuah kompetisi. Satelit orbit rendah [Low Earth Orbit/LEO] ini bagus untuk menghubungkan yang belum terhubung,” kata Vikram dalam Paparan Publik Indosat Ooredoo Hutchison, Selasa (21/5/2024).

Kehadiran Starlink, lanjutnya, merupakan kabar baik untuk industri telekomunikasi dan merupakan peluang untuk berkolaborasi seperti di sektor perikanan dan pertahanan.

Indosat juga membuka peluang bekerja sama dengan perusahaan satelit orbit rendah, termasuk Starlink, untuk mempercepat akses internet.

Halaman:
  1. 1
  2. 2
Penulis : Rika Anggraeni
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper