Starlink Mulai Banting Harga Internet di RI, Pakar IT Ungkap Risikonya

Rika Anggraeni
Selasa, 21 Mei 2024 | 14:35 WIB
Perangkat Starlink. / dok. Starlink
Perangkat Starlink. / dok. Starlink
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat telekomunikasi menilai satelit Starlink berpeluang besar melakukan strategi jual rugi atau predatory pricing dengan banting harga layanan untuk memikat masyarakat agar berlangganan menggunakan satelit internet milik Elon Musk.

Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan bahwa potensi tersebut terbuka lebar, mengingat Starlink merupakan pendatang baru penyedia internet di Tanah Air.

“Potensinya [melakukan predatory pricing] sangat besar karena sebagai pendatang baru, maka yang bisa jadi andalan adalah tarif murah. Apalagi masyarakat Indonesia price sensitive, yang lebih murah yang dipilih,” kata Heru, Selasa (21/5/2024).

Menurut Heru, pemerintah harus memberikan kewajiban kepada Starlink berupa pelaporan tarif kepada regulator sebelum ditawarkan pada masyarakat.

Di samping itu, regulator juga harus mengevaluasi tarif Starlink sehingga persaingan di industri telekomunikasi bisa tetap sehat.

“Kalau di-approve regulator sebelum ditawarkan pada masyarakat harusnya ada filter untuk tidak predatory pricing,” ujarnya.

Heru menambahkan bahwa masuknya Starlink ke Indonesia juga harus bersaing secara sehat dan adil antar pemain telekomunikasi lain. Dia pun menilai jika Starlink beroperasi di wilayah perkotaan, maka akan membuat kompetisi antar pemain makin ketat.

“Ini harus ada equal level playing field antar pemain dan pengawasan kompetisi yang sehat harus dilakukan. Sebab jika tidak, akan menggerus pasar ISP [Internet Service Provider] dan operator seluler,” ujarnya.

Setali tiga uang, Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward menuturkan bahwa Starlink bisa mengarah dengan menerapkan strategi predatory pricing.

Meski demikian, Ian melihat bahwa untuk saat ini langkah yang dilakukan satelit orbit bumi rendah (LEO) itu masih dalam bagian pemasaran.

“Saat ini [Starlink] berpotensi dalam hal marketing untuk masuk pasar. Hanya saja, kalau kelamaan bisa masuk kategori predatory pricing,” ujar Ian kepada Bisnis.

Untuk itu, Ian mengimbau perlu ada pengawasan dari persaingan usaha yang sehat di tengah masa promosi yang dilakukan Starlink.

“Pelaku usaha harus mengeluarkan ongkos produksi dan kapan mulai melakukan penyesuaian harga yang layak secara bisnis, serta tetap menjalankan persaingan usaha yang sehat, serta jangan sampai terjadi praktik monopoli,” tutupnya.

Perlu diketahui, Starlink mulai melakukan banting harga untuk pelanggan awal yang berakhir hingga 10 Juni 2024. Penawaran yang dimaksud berupa penurunan harga perangkat Starlink yang sebelumnya dibanderol Rp7,8 juta menjadi Rp4,68 juta.

“Penawaran untuk pelanggan awal - berakhir 10 Juni Rp4,68 juta untuk perangkat keras,” demikian informasi yang tertera di laman resmi Starlink.

Starlink milik Elon Musk ini menawarkan tiga jenis paket layanan internet, mulai dari residensial (rumah), jelajah (berpergian), dan kapal (perairan).

Untuk paket residensial, harga layanan standar Starlink dibanderol senilai Rp750.000 per bulan dengan kuota tanpa batas. Untuk paket jelajah dipatok lebih tinggi, yakni Rp990.000 per bulan (mobile regional) dan Rp4,34 juta per bulan (prioritas mobile 50 GB).

Starlink juga tersedia untuk layanan internet berkecepatan tinggi di perairan mulai dari Rp4,34 juta per bulan dengan biaya perangkat keras senilai Rp43,73 juta.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rika Anggraeni
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper