Merujuk pada sebuah laporan yang dibagikan oleh tim Starlink, per Maret 2024, perusahaan mengeklaim melayani lebih dari 2,6 juta pelanggan di seluruh dunia. Meski memiliki banyak pengguna, latensi yang dihadirkan justru makin baik dan mengecil.
Latensi mediannya berkurang dalam sebulan terakhir dari 48,5 milidetik menjadi 33 milidetik selama jam sibuk penggunaan di Amerika Serikat.
Tim juga melaporkan penurunan “latensi jam sibuk terburuk” dari 150 milidetik menjadi kurang dari 65 milidetik di area cakupan tersebut. Di luar AS, latensi median berkurang hingga 25% dan latensi yang lebih buruk hingga 35%, menurut studi tersebut.
Latensi adalah jeda waktu transfer data dari satu titik ke titik lain. Makin kecil latensi artinya makin baik karena proses transfer data makin cepat.
Pasar Satelit Direbut
Sementara itu, Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (Idiec) Tesar Sandikapura mengatakan dengan kecepatan layanan yang lebih baik dari satelit milik Bakti dan sateli GEO milik Telkom, Starlink dapat mengambil pasar satelit di Tanah Air.
Adapun pemain satelit saat ini antara lain Telkom, PSN dan Bakti.
Dia menuturkan meski saat ini secara harga layanan terbilang mahal, tetapi jika ada kebutuhan dan skema yang menguntungkan pelanggan, tidak menutup kemungkinan pelanggan Satria-1 beralih ke Starlink.
“Secara teknologi, cakupan dan harga masih termasuk murah [Starlink]” kata Tesar kepada Bisnis.
Diketahui, Starlink memiliki paket personal yang dibagi menjadi 3 layanan yakni Residensial, Jelajah, dan Kapal. Kemudian ada juga paket bisnis dibagi menjadi Lokasi Tetap, Mobilitas Darat, dan Maritim.
Paket residensial dibanderol seharga Rp750.000 per bulan, paket Jelajah mulai dari Rp990.000 per bulan, dan paket kapal mulai dari Rp4,3 juta untuk 50 GB.
Kemudian untuk paket bisnis, paket Lokasi Tetap memiliki harga Rp1,1 juta/bulan untuk prioritas 40 GB, kemudian, Prioritas-1 TB Rp3juta/bulan Prioritas-2 TB Rp6,1 juta/bulan Prioritas-6TB Rp12,3 juta/bulan.
Tesar mengatakan dengan harga dan layanan internet yang mencapai ratusan Mbps per titik, cukup jadi solusi di berbagai area mulai dari rural bahkan hingga perkotaan. Kecepatan Starlink yang tinggi menurutnya tak luput dari teknologi dan jumlah satelit yang mengorbit di atas bumi. Alhasil, meskipun jumlah penggunanya membludak di kemudian hari, layanan yang disediakan diperkirakan tetap terjaga.
“Pasti kalau tambah pengguna makin lambat, tetapi kan Starlink tidak hanya satu satelit,” kata Tesar.
Untuk diketahui, per April 2024 SpaceX dikabarkan telah mengoperasikan sekitar 5.900 satelit. Diproyeksikan hingga akhir 2024, ada sekitar 6.400 satelit dari total 12.000 satelit yang diizinkan oleh badan antariksa Amerika Serikat.
Bisnis Menara Terganggu
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan bahwa Starlink akan berdampak pada bisnis operator seluler, yang merembet efeknya ke bisnis menara. Pendapatan pemain menara seperti MTEL, TOWR dan TBIG berisiko turun.
Starlink mengincar pasar yang sama dengan operator seluler seperti Telkomsel, Indosat, XL Axiata dan Smartfren. SpaceX juga ingin masuk ke pasar ISP, yang selama ini belum terjangkau oleh Biznet, XL Home, hingga IndiHome.
“Penyedia menara juga akan terkena dampak bilamana operator seluler merger atau collaps,” tuturnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot memandang masuknya Starlink juga berdampak pada bisnis menara telekomunikasi di Tanah Air.
“Masuknya Starlink sedikit banyak ada dampaknya,” ungkap Sigit kepada Bisnis.
Namun secara umum, Sigit menyampaikan bahwa teknologi satelit internet, jika dibandingkan dengan solusi-solusi terestrial seperti selular, Fixed Wireless Access (FWA), maupun fiber, hubungannya lebih bersifat pelengkap dan bukan substitusi.
“Sehingga solusi yang tetap membutuhkan menara masih akan tetap ada,” ujarnya.