Bisnis.com, JAKARTA - GSMA, asosiasi yang mewadahi kepentingan operator telekomunikasi di seluruh dunia, mengungkapkan tidak ada jaminan insentif biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi mendorong penetrasi jaringan 5G. Hanya terbuka lebih besar untuk peluasan jaringan.
Head of Asia Pacific GSMA Julian Gorman mengatakan keringanan dalam membayar BHP akan membuat operator seluler memiliki anggaran yang lebih longgar dalam berinvestasi pada penggelaran jaringan, termasuk jaringan 5G.
Namun, dia menekankan pelonggaran tersebut bukanlah jaminan, yang serta merta langsung memacu operator dalam menggelar jaringan 5G. Penggelaran akan melihat pada nilai ekonomis dari kehadiran jaringan teknologi baru itu.
“Kemungkinan [insentif BHP] tidak berdampak langsung pada perluasan jaringan. Namun jika harga spektrum itu lebih rendah maka kemampuan operator untuk berinvestasi dalam pergelaran jaringan menjadi lebih besar,” kata Juian, dikutip Senin (13/11/2023)
Julian menambahkan peluang ekspansi jaringan tersebut terbuka karena sumber daya yang dimasukkan untuk spektrum itu tidak sebesar yang lalu sehingga operator memiliki alokasi yang lebih luas untuk memperluas jaringan 5G.
Sekadar informasi, saat ini rasio ongkos regulator, termasuk BHP frekuensi, terhadap total pendapatan operator seluler mencapai 12,2%. Lebih tinggi dibandingkan dengan rerata regional Asia Pasifik yang sebesar 7% dan rerata global yang sebesar 5%.
GSMA memprediksi jika pemerintah tidak turun tangan dan memberikan keringanan, kemungkinan pada 2030 rasio ongkos regulator terhadap pendapatan operator menyentuh angka 20%.
Banyak negara, kata Julian, yang menerapkan BHP lebih rendah dari Indonesia, dengan jumlah pengguna seluler yang sama atau bahkan lebih besar dari Indonesia.
"Jika sudah seperti itu maka operator akan berpikir tidak ekonomis lagi untuk memperluas jaringan mereka. Dan itu akan memperkecil cakupan dan mempengaruhi kualitas layanan," kata Julian.
Lebih lanjut, kata Julian, adapun jika insentif yang diberikan disertai dengan kewajiban bagi operator seluler untuk menggelar jaringan di pedesaan, maka operator akan menghitung itu sebagai biaya juga.
“Operator akan melihat nilai ekonominya sama atau tidak. Dan ini akan mempengaruhi keputusan mereka dalam mengikuti lelang spektrum,” kata Julian.
Julian menuturkan, berdasakan catatan GSMA terdapat beberapa negara yang menempatkan persyaratan semacam itu untuk harga yang lebih rendah tetapi harus gelar jaringan secara cepat dan luas. Namun dampaknya, jaringan yang terbangun tidak terpakai dan tak memberi banyak nilai ekonomi.
Sekadar informasi, OpenSignal melaporkan ketersediaan 5G di Indonesia hanya 0,9 persen atau lebih kecil dari Vietnam yang sebesar 2,0 persen dan Malaysia 20,5 persen. Indonesia merupakan negara dengan ketersediaan jaringan 5G terendah di dunia menurut laporan mereka pada Juni 2023.
Laporan Opensignal juga mengungkapkan bahwa rata-rata kecepatan unduh 5G Indonesia hanya 59,7 Mbps dan menempati urutan kedua paling bawah setelah Peru.
Rata-rata kecepatan unduh 5G Indonesia berada di bawah Thailand (99,7 Mbps), Filipina (136 Mbps) dan Vietnam (217 Mbps).