Kominfo Cabut Izin 22 Penyelenggara Telekomunikasi

Galih Kurniawan
Senin, 22 Juli 2013 | 21:56 WIB
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Sepanjang 2012 hingga Juni 2013 Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mencabut 23 izin penyelenggaraan telekomunikasi dari 22 perusahaan.

Sebanyak 14 perusahaan penyelenggara telekomunikasi tercatat tidak membayar biaya hak penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi dan tidak menyampaikan laporan kinerja operasi mereka. Adapun selapan perusahaan penyelenggara telekomunikasi diketahui tidak beroperasi sepanjang 2012 hingga Juni 2013.

Dari 14 perusahaan tersebut empat di antaranya merupakan perusahan berlisensi internet service provider (ISP). Mereka adalah PT Eresha Technologies (SK Pencabutan No.379/2012 ), PT Dwi Era Setunggal (SK Pencabutan No.97/2013 ), PT Perdana Putindoguna (SK Pencabutan No.96/2013 ) dan PT Immedia Visi Solusi (SK Pencabutan No.99/2013).

Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo Gatot S Dewa Broto mengatakan Direktorat Pengendalian Pos dan Informatika Ditjen PPI (Penyelenggaraan Pos dan Informatika) sebelumnya telah melakukan penagihan terkait dengan pembayaran BHP Telekomunikasi dan kewajiban penyampaian laporan kinerja operasi. Perusahaan-perusahaan tersebut sudah tiga kali diperingkatkan untuk memenuhi kewajiban mereka.

Gatot menambahkan saat ini masih terdapat 14 izin penyelenggaraan telekomunikasi dari 11 perusahaan yang sedang dalam proses pencabutan izin. Dari 14 perusahaan tersebut juga terdapat perusahaan ISP yakni PT Dunia Informasi Teknologi PT Gerbang Data Lintas Benua dan PT Nurama Indotama.

“Kami tetap melakukan pembinaan tidak semata-mata hanya mencabut izin. Kami mencari tahu sebenarnya ada kendala apa dari industri,” ujar Gatot saat dihubungi Bisnis, Senin (22/7/2013).

Dia mengatakan dari sejumlah perusahaan yang dicabut izinnya itu ada yang dari awal tidak beroperasi. Dia menegaskan industri yang sehat jarang sekali yang dicabut izinnya. Gatot mengakui ke depan Kominfo membuka peluang konsultasi terkait hal-hal yang menjadi kendala industri.

“Tapi itu masih wacana. Kami bisa saja mengundang APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet) misalnya untuk mengetahui persoalan yang terjadi di ISP,” kata Gatot.

Dari hasil konsultasi itu, kata dia, bisa didapat masukan untuk penataan dan pengaturan ulang. “Kami juga ingin fair, tidak hanya menggunakan amunisi regulasi.”

Gatot menyebutkan proses evaluasi biasanya berlangsung selama 6 bulan meski hal tersebut tidak ada dalam ketentuan. Proses yang lumayan panjang itu, kata dia, untuk menghindari kesalahan dalam ekeskusi pencabutan izin.

Menanggapi pencabutan izin sejumlah ISP tersebut Sekjen APJII Sapto Anggoro mengakui ada beberapa ISP anggota APJII yang mengalami kendala dalam bisnis. Dia menyebutkan langkah yang dilakukan Kominfo sudah melakukan proses sesuai prosedur untuk mencabut izin perusahaan yang diketahui tidak dapat memenuhi kewajiban.

“Kami memang belum menerima laporan dari perusahaan bersangkutan. Beberapa kami hubungi ada yang memang sudah tidak aktif. Tentu saja lisensi itu hak dari pemerintah, kami akan berkoordinasi dengan mereka,” ujar dia saat dihubungi Bisnis.

Dia berharap sebelum ada eksekusi pencabutan izin Kominfo paling tidak bisa memberi tahu APJII selaku asosiasi yang menaungi ISP di Indonesia.

“Kalau ternyata di antara yang dicabut itu sudah memnuhi kewajibannya, kami mohon untuk hak-hak jangan dicabut dahulu.”

Sapto menyebutkan dalam waktu dekat pihaknya akan menggelar pertemuam dengan anggota APJII. Meski tidak secara khusus membahas masalah tersebut namun kondisi industri ISP juga akan dibahas.

APJII sebelumnya berencana mengajukan judicial review atas atas Undang-Undang No.20/1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). APJII juga menuntut penghapusan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi (BHP Telekomunikasi) yang peruntukannya dianggap tidak jelas.

BHP Telekomunikasi dikenakan sebesar 0,5% dari pendapatan kotor, sedangkan BHP Universal Service Obligation (USO) ditentukan sebesar 1,25%. Ketua APJII Sammy Pangerapan sebelumnya mempertanyakan metode perhitungan kewajiban tersebut yang diambil dari penerimaan. Begitu pula dengan penentuan besaran BHP karena hanya berdasar Peraturan Pemerintah (PP). Menurutnya hal semacam itu harus diatur melalui Undang-Undang.

 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Galih Kurniawan
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper