Bisnis.com, JAKARTA - Temu, aplikasi e-commerce asal China, berusaha keras untuk masuk ke pasar Indonesia dengan mengajukan diri ke Kementerian Hukum dan HAM sebanyak tiga kali namun ditolak. Beberapa pihak menyebut model bisnis Temu tidak sesuai dengan regulasi Indonesia dan berisiko bagi keberlanjutan UMKM.
Pada Juni 2023, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebut platform asal China itu memiliki model bisnis Factory to Consumer (FTC) atau produsen langsung ke konsumen yang tidak berlaku di Indonesia.
Secara konsep model ini membuat produsen memiliki kekuatan yang lebih besar karena mereka dapat terhubung langsung ke konsumen tanpa perantara. Alhasil, harga menjadi lebih murah dan produsen dapat mengontrol kualitas.
Namun, di Indonesia praktik ini masih terganjal oleh sejumlah peraturan, salah satunya Peraturan Pemerintah no.29/2021 tentang Penyelenggaraan Perdagangan.
PP 29 Tahun 2021 mengatur tentang kebijakan dan pengendalian ekspor dan impor, penggunaan atau kelengkapan label berbahasa Indonesia, distribusi barang, sarana perdagangan, standarisasi, pengembangan ekspor, metrologi legal, serta pengawasan kegiatan perdagangan dan pengawasan terhadap barang yang ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan.
Selain itu, Indonesia juga memiliki Permendag No.31/2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Strategi Temu
Mengutip Laporan ECDB, Kamis (8/8/2024) mengungkapkan bahwa Temu menawarkan barang dalam jumlah besar dengan harga yang sangat rendah. Temu kerap menawarkan pengiriman gratis, dan diskon.
Temu membedakan dirinya dari platform lain dengan menawarkan pengiriman dan pengembalian gratis kepada pelanggan, yang dimungkinkan oleh jaringan pemasok dan mitra pengiriman PDD Holding yang luas.
Platform ini juga memiliki fitur-fitur menghibur seperti gamifikasi, pembelian grup, dan rujukan sosial yang mendorong pengguna menghabiskan lebih banyak waktu di Temu dibandingkan aplikasi belanja terkenal lainnya.
Tidak hanya itu, Temu juga menawarkan Pengalaman Belanja Bersama, yaitu sebuah konsep yang memungkinkan pengguna membentuk kelompok untuk berbagi diskon besar-besaran.
Temu juga kerap mengirimkan item gratis ke sejumlah besar influencer dan mikro-influencer untuk mempromosikan Temu di YouTube dan TikTok. Basis pelanggan muda yang terdiri dari pengguna berusia di bawah 35 tahun yang menarik bagi Temu, karena pengguna muda biasanya kurang mampu dan bersedia membayar sejumlah besar uang untuk suatu produk.
Dengan sejumlah keunggulan tersebut, ECDB memproyeksikan Temu menghasilkan GMV sebesar US$29,5 miliar pada 2024 dan US$41 miliar pada tahun 2025
Was-was Kemenkop UKM
Staf Khusus Kemenkop UKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Fiki Satari mengatakan bahwa aplikasi Temu telah mencoba sebanyak tiga kali untuk mendaftarkan hak paten mereknya ke Kementerian Hukum dan HAM sebagai siasat memulai bisnisnya di Indonesia. Adapun, pengajuan hak merek Temu telah dilakukan pertama kali sejak 7 September 2022 dan terus mengalami kegagalan.
"Sejak 7 September [2022] telah tiga kali berupaya mendaftarkan merek Temu, tapi memang kebetulan di Indonesia sudah ada yang punya, tapi [Temu] terus banding," ungkap Fiki di Kemenkop UKM, Selasa (6/8/2024).
Meskipun hingga saat ini aplikasi Temu belum beroperasi di Indonesia, Fiki menegaskan bahwa risiko itu tetap ada. Sebab, aplikasi Temu terus berekspansi hingga kini sudah beroperasi di 48 negara, termasuk di Thailand dan Malaysia.
Aplikasi Temu dianggap menjadi malapetaka bagi UMKM di dalam negeri lantaran produk yang dijual dalam platform tersebut berasal dari pabrik atau produsen di China yang kemudian dikirim langsung kepada konsumen.
Teranyar, Fiki membeberkan bahwa Temu telah mengajukan ulang nama mereka ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkum HAM pada 24 Juli 2024. Menurutnya terdapat dua pihak yang mendaftarkan nama aplikasi Temu yaitu warga negara Indonesia (WNI) berdomisili di Jakarta dan pihak asing yang merupakan perusahaan pemilik aplikasi Temu.
"Jadi ini mereka [Temu] sedang mencoba masuk, walaupun dibilang oleh beberapa pejabat di kementerian terkait dengan pengaturan ini, Temu tidak mungkin masuk [ke Indonesia] karena ada aturan Permendag 31/2023," ucap Fiki.
Sementara itu, Direktur Utama Smesco Indonesia, Wientor Rah Mada menyebut Temu sebagai aplikasi jahat dari China. Musababnya, dalam aplikasi Temu barang akan langsung dikirim dari pabrik ke konsumen tanpa melalui reseller atau dropshipper.
Tidak seperti platform e-commerce lainnya, Temu bahkan tidak memungkinkan adanya affiliate untuk memasarkan produk. Aplikasi Temu di sejumlah negara, kata dia, juga memberikan diskon hingga 90% untuk produk-produk yang dijual di platformnya.
"Bahkan, kami mengindikasikan di beberapa kondisi mereka memberikan harga 0%, di US [Amerika Serikat] mereka sempat memberikan harga 0%, jadi buyer [pembeli] hanya membayar ongkos kirim," ungkap Wientor.
Dia pun menduga bahwa aksi jual murah di luar akal dilakukan Temu untuk barang-barang deadstock alias barang yang sudah tidak laku lagi di China.
"Pasti seperti itu. Karena kan kondisi ekonomi China sekarang sedang surplus barang, mereka harus mengeluarkan itu dari negerinya dan salah satu caranya melalui platform yang mereka punya. Itu terjadi di US dan Eropa, bukan tidak mungkin itu akan dilakukan di negara kita," kata Wientor.