Bisnis.com, BADUNG — Rencana peluncuran perangkat Starlink Mini yang jauh lebih murah diyakini akan membuat Elon Musk makin dominan dalam menentukan harga internet di Tanah Air.
Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) memandang bahwa Starlink Mini berpotensi mendisrupsi industri telekomunikasi dalam negeri.
Starlink Mini dikabarkan hanya memiliki ukuran 11,4 inci x 9,8 inci, yang memungkinkan perangkat ini dengan mudah dimasukkan ke dalam ransel. Perlu diketahui, Starlink versi mini ini akan meluncur di area tertentu.
Di Amerika Serikat (AS), SpaceX mematok harga perangkat keras standar V4 Starlink seharga US$499 atau sekitar Rp8,18 juta (kurs Rp16.406 per dolar AS). Artinya, Starlink Mini bisa dijual sekitar US$250 atau sekitar Rp4,1 juta.
Jika perangkat Starlink Mini ini meluas ke Indonesia, maka setidaknya bisa dikenakan seharga Rp2,95 juta dari harga aslinya senilai Rp5,9 juta.
Ketua Umum APJATEL Jerry Siregar memandang bahwa Starlink akan berdampak langsung kepada ekosistem harga bandwith yang ada, terutama di area perkotaan. Kehadiran Starlink juga dikhawatiran akan mendominasi dalam penetapan harga.
“Starlink kemungkinan ada potensi dominan player terhadap pricing,” kata Jerry kepada Bisnis, Rabu (19/6/2024).
Tak mengherankan, asosiasi memandang bahwa layanan internet berbasis satelit Starlink ini bisa berpotensi mengarah ke predatory effect.
Menurut Jerry, predatory effect ini terjadi lantaran Starlink mendapat dukungan dari negara Amerika Serikat (AS), sehingga biaya layanan di negara-negara lain menjadi lebih murah yang berimbas predatory. “Ini mematikan industri telco di negara lainnya,” imbuhnya.
Di samping itu, APJATEL juga menyoroti beberapa negara yang telah membatasi operasi Starlink karena berbagai alasan, termasuk isu perlindungan terhadap perusahaan dalam negeri dan dominasi vertikal yang dimiliki Starlink.
“Starlink adalah salah satu player yang sangat vertiKal, menguasai dari roket, manufaktur satelit, manufaktur ground segment, terminal, dan layanan, sehingga perusahaan apapun di Indonesia sulit menciptakan playing field yang sama,” tuturnya.
Adapun jika dilihat dari aspek geografis dan ekonomis, Jerry menyarankan agar layanan Starlink dapat diarahkan untuk melayani ke daerah yang berada di wilayah 3T, yaitu terluar, terdepan, dan terpencil.
Menurutnya, langkah ini untuk meminimalisir dampak negatif terhadap infrastruktur fixed broadband yang sudah ada, yang sering kali memerlukan waktu dan biaya yang tinggi untuk konektivitas nasional.
Meski demikian, Jerry menyatakan bahwa teknologi layanan telekomunukasi satelit seperti Starlink merupakan keniscayaan dan memang sangat dibutuhkan untuk percepatan pemerataan layanan internet di Indonesia.
“Akan tetapi terkait Starlink ini berbeda dengan visi dan misinya Satria, yang dimiliki asing perlu kembali kajian khusus dan melibatkan semua stakeholder yang ada di telekomunikasi sektor,” tandasnya.