Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat menilai penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) Publisher Rights kurang terbuka, diduga untuk menghindari kritik perusahaan terdampak atas regulasi tersebut.
Pengamat media dari UMN Ignatius Haryanto menduga, penyusunan Perpres Publisher Rights yang cenderung tertutup disebabkan oleh negosiasi yang tidak berjalan mudah antara Dewan Pers dengan platform digital seperti Google dan kawan-kawan, maupun perusahaan media massa daring (online).
Ignatius mengatakan, saat ini masih ada media massa online dan platform asing yang kontra terhadap Publisher Right.
“Saya kira memang ketergantungan perusahaan media online pada platform sangat besar. Bahwa pemerintah mencoba untuk membuat regulasi yang memberikan keadilan, saya kira itu usaha yang bagus, tetapi apakah dalam negosiasi hal itu betul-betul bisa dilakukan,” ujar Ignatius kepada Bisnis, Kamis (8/2/2024).
Penolakan dari platform asing, kata Ignatius, disebabkan karena adanya regulasi yang mewajibkan platform untuk membuka algoritma mereka. Hal tersebut menurutnya yang menjadi poin keberatan dari platform. Sebab algoritma merupakan formula untuk platform mendapatkan keuntungan.
Oleh karena itu, Ignatius khawatir jika mereka masih tidak mau untuk tunduk ke regulasi Indonesia dan pada akhirnya memutuskan pindah ke negara lain.
“Perusahaan platform itu sangat kuat karena mereka memiliki jaringan di seluruh dunia, sehingga walaupun Indonesia menjadi salah satu market yang besar, tetapi kalau memang tidak ada kesepakatan dalam hal ini, bisa sangat mudah mereka pindah ke tempat lain,” ujar Ignasius.
Ignatius menyebutkan bahwa sekitar 80%-85% arus distribusi berita dari media online didapatkan dari platform asing, seperti Google, Facebook, dan Instagram. Dengan demikian sebagian ‘nyawa’ dari media online ada di perusahaan platform tersebut.
Selain itu, belajar dari kasus di Australia, Ignatius mengatakan yang diuntungkan dalam regulasi ini justru para media-media besar.
“Kalau melihat perkembangan yang di Australia, ada yang mengatakan di sana yang diuntungkan hanya media-media besar, tapi bagaimana dengan media media kecil, apakah mereka juga mendapatkan manfaat dari perusahaan platform tersebut,” ujar Ignatius.
Sebagai informasi, regulasi Publisher Right akan meminta platform digital seperti Google dan Instagram untuk bekerja sama dengan media massa.
Menurut Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo Usman Kansong, kerja sama tersebut dapat berupa bagi hasil pendapatan iklan, pelatihan jurnalisme, ataupun tindak lain yang disetujui kedua belah pihak. Lebih lanjut, kerja sama ini juga dapat dilakukan dengan berkelompok atau melalui asosiasi.
Sebagai informasi, platform digital yang dimaksud di sini termasuk Google, Facebook, Youtube, dan PSE lainnya. Sementara media yang dimaksud adalah media lokal yang sudah terverifikasi oleh Dewan Pers.
Selain itu, lanjut Usman, platform digital juga harus memiliki kewajiban untuk mendukung jurnalisme berkualitas. Usman mengatakan, hal ini dapat dilakukan dengan mengatur algoritma masing-masing untuk mempublikasikan berita-berita yang sesuai dengan nilai demokrasi dan sesuai dengan keberagaman.
"Pokoknya platform algoritmanya itu sebisa mungkin hanya menampilkan berita-berita yang berkualitas di platformnya. Itu yang diatur (dalam Perpres Publisher Right)," ujar Usman.
Namun, salah satu platform yang terdampak Google masih meminta regulasi Publisher Right diganti karena batasi keberagaman sumber berita bagi publik dan hanya menguntungkan media konvensional.
VP Government Affairs and Public Policy Google APAC Michaela Browning sempat menyatakan regulasi Publisher Right justru memberikan kekuasaan kepada lembaga nonpemerintah untuk menentukan konten dan penerbit yang boleh meraih penghasilan dari iklan.
Lebih lanjut, jika regulasi disahkan tanpa diubah sama sekali, hal ini akan mempengaruhi kemampuan Google untuk menyediakan sumber informasi yang relevan, kredibel, dan beragam bagi masyarakat Indonesia.