Bisnis.com, JAKARTA - Hasil sidang World Radiocommunication Conference (WRC) 2023 memutuskan Indonesia dapat menggelar 5G dan 6G di spektrum frekuensi 7 GHz. Terdapat pita selebar 100 MHz di rentang 7025-7125 MHz yang dapat digunakan untuk kedua teknologi baru tersebut.
Selain itu, sidang WRC 2023 juga memutuskan bahwa Indonesia mendapatkan 2 alokasi baru yaitu pada Dinas Radiolokasi dan Dinas Bergerak Penerbangan.
Pemanfaatan spektrum di Dinas Radiolokasi digunakan untuk implementasi Wind Profiler Radar guna pemantauan cuaca. Sementara itu spektrum di Dinas Bergerak Penerbangan untuk aplikasi nonsafety, atau untuk mendeteksi titik api saat terjadi kebakaran.
“Hasil sidang WRC pita 7 GHz untuk jaringan seluler 5G/6G,” tulis dalam akun instagram SDPPI_Kominfo, dikutip Senin (25/12/2023).
Dilansir dari Mobile World Live, para peneliti dari Nokia Bell Labs dan Ericsson menyebutkan ketersediaan spektrum dalam rentang sentimeter antara 7GHz dan 15GHz merupakan hal yang penting bagi 6G untuk memenuhi potensinya.
Kehadiran spektrum di frekuensi tersebut dapat mendukung berbagai aplikasi canggih yang dapat diaktifkan oleh 6G, dan beberapa skenario spesifik di mana rentang sentimeter yang dikombinasikan dengan spektrum sub-terahertz dapat bermanfaat.
6G juga dapat mendukung kasus penggunaan tingkat lanjut serta peningkatan efisiensi energi dalam penyediaan jaringan.
Sementara itu, riset RAN 2030 yang dirilis oleh Dell'Oro Group menyebutkan pemanfaatan pita 6G Sub-7 GHz untuk seluler di global akan mencapai US$10 miliar hingga US$20 miliar pada tahun 2030.
Sekadar informasi, Korea Selatan sebagai salah satu negara pionir dalam jaringan 5G, ingin jadi negara pertama yang meluncurkan jaringan 6G dalam beberapa tahun ke depan.
Pada Februari 2023, dilansir dari GSM Arena, negeri gingseng tersebut bahkan berencana untuk meluncurkan jaringan 6G komersial pada 2028. Peluncuran ini dimajukan dua tahun lebih cepat dari rencana awal.
Untuk mendorong inisiatif ini, pemerintah Korea Selatan akan memberi insentif bagi perusahaan lokal untuk memproduksi material dan komponen yang dibutuhkan untuk pengembangan 6G.
Mereka juga berencana untuk memperkuat rantai pasokannya untuk mendukung jaringan tersebut. Studi kelayakan yang meneliti teknologi inti 6G sedang berlangsung. Proyek ini bernilai 625,3 miliar won atau sekitar US$482,1 juta (setara Rp7,2 triliun).
Sementara itu China mengklaim berhasil memecahkan rekor streaming data berkat 6G. Para peneliti China mentransmisikan 1 terabyte data lebih dari 1 km dalam satu detik menggunakan 6G.
Dilansir dari Digwatch, Senin (25/12/2023), Jepang berencana mengubah undang-undang mengenai Nippon Telegraph and Telephone (NTT) untuk memfasilitasi pengembangan teknologi 6G generasi berikutnya.
Langkah strategis ini bertujuan untuk mempercepat penelitian 6G dengan membentuk tim proyek khusus, memperkuat kepemimpinan Jepang dalam jaringan seluler canggih di tengah persaingan telekomunikasi global yang ketat.
Pada Juli 2023, NTT dan peneliti dari Tokyo Institute of Technology mengumumkan keberhasilan demonstrasi modul pemancar array bertahap yang memungkinkan transmisi data berkapasitas sangat tinggi secara instan ke receiver seluler.
Dalam rilisnya, NTT mencatat bahwa para peneliti berhasil mencapai apa yang diklaimnya sebagai transmisi data nirkabel pertama di dunia melalui beamforming pada pita 300 GHz, yang diharapkan dapat digunakan dalam realisasi sistem 6G pada masa depan.
Dalam sistem komunikasi nirkabel 6G yang belum terstandarisasi, komunikasi nirkabel berkecepatan sangat tinggi diharapkan dapat dicapai dengan memanfaatkan pita 300 GHz. Band ini mempunyai keunggulan karena dapat menggunakan rentang frekuensi yang luas.
Adapun di Indonesia, belum ada pembahasan mendalam mengenai 6G. Pemerintah dan operator seluler masih sibuk dalam melakukan pemerataan jaringan dengan 4G dan peningkatan kapasitas dengan 5G.
Teknologi 5G yang hadir 2 tahun lalu saat ini juga masih jalan di tempat. Telkomsel menjadi operator dengan jumlah BTS 5G terbanyak disusul oleh Indosat. Sementara itu XL Axiata dan Smartfren terhambat dengan spektrum dan ekosistem yang belum matang. (Afaani Fajrianti)