Beban Tinggi Operator RI
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (Atsi) Merza Fachys mengatakan pendapatan operator dari layanan suara telah turun sehingga porsinya saat ini menjadi di bawah 50%.
Kondisi ini cukup memprihatinkan sekaligus menjadi penanda bahwa industri telekomunikasi hari ini tidak seperti dahulu.
Dia berharap agar Kemenkeu dan Kemenkominfo untuk menarik sumber pemasukan negara dari layanan digital over the top seperti Google, Meta dan lain sebagainya.
“Jangan hanya menarik biaya dari infrastruktur, (pemerintah) menarik juga dari layanan digital,” kata Merza.
Sekadar informasi, pada kuartal III/2023 Meta membukukan pendapatan sebesar US$34,15 miliar atau Rp529,68 triliun. Jumlah tersebut meningkat 23% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (YoY).
Sementara itu pendapatan Alphabet, induk Google, mencapai US$76,69 miliar atau Rp1.189 triliun pada kuartal III/2023, meningkat 11% secara tahunan.
Jika dibandingkan dengan pendapatan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM), sebagai pemimpin pasar perusahaan telekomunikasi Indonesia, pendapatan yang dibukukan Meta 4x lebih besar dari pendapatan Telkom, sementara itu Google 10x lebih besar.
Menariknya, dengan jumlah pendapatan yang besar itu, pemerintah justru gencar membidik pendapatan dari operator telekomunikasi yang saat ini dalam kondisi cukup berat.
Mengenai kondisi ongkos regulator yang tinggi di industri telekomunikasi, Direktur Eksekutif ICT Institute mendorong agar pemerintah melakukan evaluasi agar industri telekomunikasi tetap sehat. Pemerintah juga dinilai perlu untuk mengkaji peluang pendapatan baru dari pemain OTT.
GSMA
Head of Asia Pacific GSMA Julian Gorman mengatakan menjaga keberlangsungan dari setiap pemangku kepentingan di industri adalah hal terpenting. GSMA bersama Kemenkominfo berusaha mencari skema terbaik, agar beban perusahaan telekomunikasi tetap terjaga terlebih menjelang lelang spektrum frekuensi 700 MHz dan 26 GHz.
GSMA juga memberikan tiga rekomendasi menjelang lelang spektrum frekuensi. Pertama, pemerintah dapat mengurangi harga tawar minimum. GSMA menyarankan penetapan harga tawar minimum yang lebih rendah untuk lelang pita spektrum frekuensi mendatang.
Kedua, mengevaluasi dan menyesuaikan formula yang mengatur biaya tahunan spektrum frekuensi.
Pemerintah harus mempertimbangkan bagaimana parameter-parameter yang ada di kerangka formula saat ini bisa disesuaikan untuk memberikan insentif jangka panjang yang tepat sehingga terhindar dari peningkatan biaya yang tidak sejalan dengan kondisi pasar.
Terakhir, pemerintah Indonesia perlu membentuk landasan yang kuat bagi ekosistem selulernya dengan merancang rencana spektrum frekuensi yang jelas dan komprehensif.
Landasan ini tidak hanya perlu mempertimbangkan pita yang ada saat ini tetapi juga kebutuhan akan pita dalam jangka panjang, khususnya untuk spektrum frekuensi menengah.
“Landasan ini juga akan memberikan kepastian yang dibutuhkan para operator seluler untuk merencanakan investasi dan mengembangkan strategi untuk perluasan jaringan mereka,” kata Julian.
Direktur Jenderal Jenderal Sumber Daya, Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemenkominfo Ismail mendukung penuh perusahaan telekomunikasi agar dapat tumbuh berkelanjutan.
“Kami secara intensif berkomunikasi dengan operator, utamanya bagaimana pemerintah dapat hadir dan memberikan aturan dengan takaran yang tepat, sehingga dapat mengakomodir kepentingan berbagai pihak,” kata Ismail.