Bisnis.com, JAKARTA - GSMA, asosiasi yang mewadahi kepentingan operator telekomunikasi di seluruh dunia, melaporkan rasio biaya spektrum frekuensi tahunan dibandingkan dengan pendapatan seluler di Indonesia saat ini yang sebesar 12,2%, lebih tinggi dibandingkan rasio di kawasan Asia Pasifik dan global. Jumlah tersebut diprediksi mencapai 20% pada 2030.
Rasio rata-rata di kawasan APAC dan global masing-masing hanya sebesar 8,7% dan 7,0%.
Head of Asia Pacific GSMA Julian Gorman mengatakan dengan pasokan spektrum frekuensi yang akan berkembang secara signifikan di Indonesia, analisis GSMA menunjukkan bahwa pengurangan harga satuan spektrum frekuensi sangat penting dilakukan guna menghindari total biaya yang melonjak.
GSMA memperkirakan pada 2030 rasio tersebut akan meningkat dari sekitar 780 basis points (bps) dari menjadi 20%.
“Jika tidak [pengurangan harga spektrum], operator akan kesulitan melakukan investasi yang signifikan dalam pengembangan 5G. Kesulitan ini akan berdampak buruk seperti penyebaran jaringan yang lebih lambat, pengalaman seluler konsumen yang kurang baik, dan hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi yang yang hadir dari aplikasi-aplikasi yangmenggunakan teknologi 5G terbaru,” kata Julian, Kamis (9/11/2023).
Julian menambahkan jika rasio tersebut tetap bertahan hingga 2030, yang berarti tidak bertambah, maka penetrasi 5G di Indonesia dapat mencapai 41%.
Lebih lanjut, kata Julian, dengan lelang spektrum frekuensi 5G yang akan datang, GSMA mendorong pemerintah untuk terus memberikan insentif bagi industri untuk berinvestasi dalam infrastruktur digital yang akan datang dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan manfaat sosial yang besar bagi masyarakat Indonesia.
Pemerintah harus fokus pada kebijakan yang mendukung agar 5G berhasil di Indonesia, termasuk soal pasokan dan penetapan harga spektrum. Keberhasilan 5G di Indonesia memerlukan kerangka regulasi yang matang untuk proses pelelangan yang sukses sehingga muncul timbal balik yang adil bagi pemerintah dan mengakselerasi pertumbuhan digital.
Dia mengatakan meskipun cakupan 4G di Indonesia telah mencapai 97%, penerapan jaringan 5G baru dimulai dan saat ini baru mencapai 15% dari total populasi.
Ketidakseimbangan ini diperparah oleh kurangnya spektrum frekuensi saat ini, terutama pada pita tengah (1-7 GHz) untuk memberikan layanan internet seluler berkecepatan tinggi di daerah perkotaan yang padat penduduk, dan pita rendah (di bawah 1 GHz) untuk meningkatkan konektivitas yang lebih baik dan terjangkau di daerah pedesaan.