Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan sejumlah UMKM penyedia jasa internet (ISP) lokal memiliki sedikit kekhawatiran kehilangan pangsa pasar seiring dengan hadirnya satelit orbit rendah Starlink milik Elon Musk.
Beruntung, pemerintah sigap dengan menerapkan aturan yang jelas kepada Starlink sehingga pasar UMKM lokal dapat tetap terjaga.
Ketua Umum APJII Muhammad Arif mengatakan salah satu pertimbangan utama anggota dalam menggunakan Starlink adalah faktor biaya. Meskipun Starlink menawarkan kecepatan dan kapasitas yang sangat tinggi, harga layanan internet dengan backhaul Starlink mungkin belum memungkinkan untuk dibeli secara ritel.
Layanan ini lebih ditujukan untuk pasar enterprise, yang berarti biaya yang dikeluarkan bisa jadi lebih tinggi dibandingkan dengan layanan internet konvensional yang tersedia bagi konsumen individu.
Di sisi lain, kata Arif, ISP Lokal eksisting dengan bisnis kecil seperti UMKM juga khawatir kalau pasar mereka akan tergerus oleh Starlink. Namun kekhawatiran tersebut telah diantisipasi oleh pemerintah.
“Selain itu, ada kekhawatiran mengenai potensi dampak dari Starlink terhadap industri ISP lokal, khususnya UMKM. Pemerintah, dalam upaya melindungi UMKM di bidang ISP, telah membuat regulasi yang mengantisipasi agar Starlink tidak mendominasi dan memakan pasar ISP lokal,” kata Arif kepada Bisnis, Selasa (12/9/2023).
Arif mengapresiasi langkah yang diambil pemerintah. Dia mengatakan langkah tersebut menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dengan perlindungan industri lokal.
Arif juga menuturkan meskipun Starlink dapat memberikan solusi teknis untuk konektivitas internet di wilayah yang sulit dijangkau, namun faktor ekonomi dan regulasi tetap menjadi pertimbangan penting bagi anggota dalam mengadopsi teknologi ini.
“APJII berharap layanan kolaborasi ini dapat meningkatkan penetrasi internet di wilayah-wilayah yang sebelumnya sulit dijangkau dan menyediakan kualitas layanan yang lebih tinggi dengan kecepatan dan stabilitas yang lebih baik,” kata Arif.
Diketahui, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) melalui Telkomsat dan SpaceX, perusahaan penerbangan luar angkasa milik Elon Musk, berkolaborasi menghadirkan layanan bernama VSAT Star, layanan sistem komunikasi berbasis satelit orbit rendah (LEO) Starlink.
Telkomsat mengeklaim bahwa VSAT Star dapat memberikan layanan data dengan kecepatan hingga 500 Mbps per titik. Selain itu, instalasi antena juga mudah karena dimensinya ringan dan kecil, dengan diameter hanya 60 cm dan berat 5 kg.
Sementara itu, mengutip Blinbliq, meski memiliki ketinggian yang relatif rendah namun jika dibandingkan dengan jaringan serat optik (Fiber) Starlink masih kalah karena berbasis satelit.
Fiber dapat memberikan kecepatan luar biasa, dengan paket mencapai 5 Gbps untuk mengunggah dan mengunduh, latensi luar biasa, dan yang terpenting, tidak ada batasan data. Latensi rata-rata fiber adalah 14 ms, dibandingkan dengan 48 ms untuk Starlink.
Adapun Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward mengatakan layanan Starlink-Telkom nantinya hanya menyasar pasar korporasi seperti ISP lokal. Layanan satelit tersebut tidak langsung ke masyarakat.
Setelah ISP mendapatkan internet dari Starlink, mereka akan berjualan ke pelanggan. Dengan kondisi tersebut, menurut Ian, bisnis ISP lokal akan makin berkembang, di sisi lain masyarakat mendapat layanan internet yang lebih baik.
“Jadi walaupun misal harganya Rp2 juta - Rp3 juta itu untuk B2B. Ketika layanan diberikan ke pelanggan (B2C) harganya tetap murah, dibandingkan dengan menggunakan layanan VSAT yang lain mungkin lebih mahal dengan bandwidth yang lebar,” kata Ian.
Ian mengatakan jika harga layanan sebesar Rp2 juta per bulan langsung diberikan kepada pelanggan, maka pelanggan akan berat untuk membayarnya