Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) memperkirakan harga layanan yang ditetapkan oleh PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. dalam memberikan layanan Starlink telah disesuaikan dengan ongkos untuk menghadirkan layanan dan margin.
Dikabarkan bahwa Telkom menerapkan harga layanan sekitar Rp2 juta - Rp3 juta per bulan untuk layanan Starlink. Telkom melalui Telkomsat adalah distributor utama layanan Starlink di Indonesia.
Salah satu perusahaan yang telah membeli kapasitas Starlink dari Telkomsat adalah Smartfren.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan dalam regulasi telekomunikasi di Indonesia, dalam menetapkan harga rujukannya adalah biaya (cost-based) ditambah margin yang sesuai.
Adapun jika layanan yang sama disediakan di negara lain, berarti dapat dijadikan tolok ukur untuk komponen biayanya.
“Sedangkan jika harganya dibuat sangat rendah, di bawah biaya, malah bisa menimbulkan beberapa potensi masalah, misalnya mengganggu persaingan usaha secara industri, atau membuat tidak sustain bagi penyelenggaranya sendiri,” kata Sigit, Senin (11/9/2023).
Untuk ukuran afordabilitas (keterjangkauan), kata Sigit, akan sangat bergantung pada segmen masyarakat pengguna yang disasar oleh layanan ini, pun bagaimana bisnis modelnya.
Dia mengatakan layanan satelit, sudah hampir dipastikan lebih bersifat komplementari terhadap berbagai layanan akses yang ada berbasis teknologi yang lain. Sedangkan untuk pemanfaatan di backhaul khususnya di daerah rural atau bahkan 3T, dapat sebagai alternatif yang menarik.
“Bisa jadi, menjadi pesaing kuat bagi teknologi yang sudah ada, misalnya dalam hal proses pemasangannya, ukuran dan berat perangkat dan antenanya dan lain sebagainya,” kata Sigit.
Dia belum memiliki informasi model kerja sama Starlink di luar negeri. Namun regulator perlu terus mengikuti perkembangan berbagai model bisnis baru baik secara manfaatnya untuk perbaikan dan perluasan penggelaran layanan telekomunikasi, juga secara kemungkinan masalah dan ancamanya bagi kesehatan industri, konduksifitas persaingan usaha dan lain-lain.
“Apalagi, kita lihat, kompetitiveness Indonesia untuk hal ini masih cukup chalengging dibanding negara lain,” kata Sigit.