Bisnis.com, JAKARTA - Salah satu fenomena teknologi digital yang menghebohkan dunia saat ini adalah masifikasi dari Metaverse. Inilah produk dunia mayantara (cyberspace) di mana orang-orang dapat bekerja, bertemu, bermain, dan lain sebagainya dengan menggunakan beraneka perangkat seperti headset realitas virtual, kacamata augmented reality, dan yang sejenis.
Merujuk pemaparan Facebook (kini bernama Meta), Metaverse adalah seperangkat ruang virtual tempat seseorang dapat membuat dan menjelajah dengan pengguna Internet lainnya yang tidak berada pada ruang fisik yang sama dengan orang tersebut (cnbcindonesia.com, 17/12/2021).
Yang membuat heboh dari Metaverse adalah bahwa dalam fase lebih lanjutnya, Metaverse memungkinkan orang bisa memiliki alter ego (avatar) di Metaverse dan merintis karier serta kehidupan lain. Artinya, mereka bisa memiliki rumah sendiri, mobil pribadi, kekasih virtual Metaverse, dan lain-lain. Alhasil, properti dan barang-barang digital simulakra di Metaverse sudah melambung tinggi harganya hingga mencapai jutaan rupiah, persis seperti saat kita berbelanja di dunia nyata.
Banyak kalangan menyambut positif Metaverse karena akan memajukan peradaban manusia. Misalnya saja, Metaverse dapat menjadi lahan bisnis baru bagi para pengusaha digital (digipreneurs) untuk memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Metaverse juga memudahkan orang mendapatkan akses ke berbagai hal tanpa terpengaruh dimensi ruang dan waktu, seperti akses pendidikan ke institusi-institusi bergengsi, akses budaya untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan bermacam kemudahan akses lainnya.
Namun, persis di dalam dimensi ruang-waktu inilah terbentang sisi kelam dari Metaverse. Maksudnya, Metaverse bisa menjadi sekadar proses perdagangan atau komodifikasi ruang dan waktu dalam kerangka kapitalisme modern radikal demi memperkaya segelintir teknokrat, sehingga Metaverse dengan segala pernak-pernik berharga tingginya justru akan memperlebar kesenjangan sosial.
Prinsip komodifikasi ruang-waktu sendiri diperkenalkan oleh sosiolog Anthony Giddens. Menurut Giddens (dalam B Herry-Priyono, Anthony Giddens, KPG, 2016, 37), sesuatu tidak hanya berada dalam ruang dan waktu, tapi waktu dan ruang justru membentuk makna dari sesuatu tersebut.
Sebagai contoh, duduk mendengarkan dosen (ruang) pada jam tertentu (waktu) disebut “kuliah.” Atau, duduk di depan komputer (ruang) pada jam kantor (waktu) disebut “bekerja.”
Kedatangan modernitas radikal dengan teknologi digital kemudian memadatkan ruang dan waktu. Misalnya, kalau dulu kita bertransaksi harus bertatap muka antara penjual dan pembeli di satu tempat, kini transaksi bisa dilakukan kapan saja dengan platform e-commerce tanpa memerlukan interaksi tatap muka. Waktu dicabut dari makna eksistensialnya menjadi “waktu kosong” yang bisa dijadikan komoditas dagang karena dalam satu waktu orang bisa melakukan transaksi di banyak tempat sekaligus.
Jadi secara filosofis, modernitas radikal telah mencabut dimensi “waktu” dari “ruang.” Akibatnya, masyarakat saling terkoneksi dan terintegrasi dalam seketika. Mengambil contoh saat ini, hanya dengan beberapa klik saja, ada investor asing yang berani membeli foto Ghazali Everyday dalam bentuk NFT (non-fungible token) dengan harga fantastis. Itu terjadi secara instan tanpa penjual dan pembeli bertatap muka dan langsung memantik fenomena mania global orang tertarik bermain NFT.
Dari kerangka teori ini, kita bisa melihat bahwa waktu sebagai komoditas tentu mengandaikan adanya produsen dan konsumen. Demi meraih keuntungan, produsen jelas menginginkan jumlah konsumen yang memadai.
Dalam Metaverse, “waktu” yang dijual adalah “waktu” seorang alter-ego atau avatar sosok nyata di dunia fisik bisa menikmati kehidupan lain secara bersamaan dengan mereka menjalani kehidupan riil. Ini dimungkinkan karena konsep “waktu kosong” tadi. Oleh produsen “waktu kosong” seperti Metaverse, komoditas itu dieksploitasi lagi dengan berbagai merchandise seperti mobil, rumah, sepatu, dan lain-lain yang terkustomisasi dan dijanjikan hanya dimiliki secara eksklusif oleh avatar konsumen.
Celakanya, komoditas itu tidak memiliki cantelan nilai (underlying asset) fisik seperti lahan properti sungguhan, mobil nyata, dan lain sebagainya di dunia sejati, sehingga harganya bersifat spekulatif, tergantung persepsi, dan rawan “digoreng” oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Ujung-ujungnya, Metaverse hanya menguntungkan segelintir orang, yaitu produsen dan sedikit konsumen-investor, serta justru memperluas ketidakadilan sosial.
Akhirulkalam, kehadiran Metaverse sebagai keniscayaan memang harus diterima. Akan tetapi, penerimaan itu tentu harus disertai sikap waspada dan kemauan melakukan diskusi bersama bagaimana meminimalkan dampak negatif Metaverse dan memaksimalkan dampak positifnya.