Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat telekomunikasi menilai Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja tidak memberikan manfaat dalam mendukung proses merger Indosat-Tri Indonesia.
Beleid yang hakikatnya memberi kepastian soal pengalihan spektrum frekuensi pascamerger, nyaris tak berfungsi. Frekuensi 5 MHz Indosat Ooredoo Hutchison tetap ditagih pemerintah.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan apa yang terjadi pada merger Indosat-Tri sama dengan saat merger XL Axiata - Axis Telekom Indonesia beberapa tahun lalu.
Spektrum frekuensi masing-masing perusahaan dikembalikan ke negara setelah merger. Padahal, saat merger Indosat-Tri, pemerintah telah mengeluarkan UU Ciptaker.
“Ini memberikan tanda bahwa UU Cipta Kerja nyaris belum memberikan perubahan signifikan dalam industri telekomunikasi di Indonesia,” kata Heru, Selasa (9/11/2021).
Heru berharap kebijakan dan keputusan yang diambil sudah berdiskusi dengan pihak terkait, untuk menjamin keberlangsungan bisnis telekomunikasi yang memang agak berat dalam satu dekade ini.
Selain itu, dia juga berharap keputusan sudah mempertimbangkan kompetisi yang sehat antarpenyelenggara telekomunikasi di Indonesia.
“Apa yang diputuskan saat ini tentu akan menjadi preseden atau patokan bilamana operator telekomunikasi lain akan merger ke depannya,” kata Heru.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah mengeluarkan izin prinsip penggabungan PT Indosat Tbk. (ISAT) dan PT Hutchison 3 Indonesia (Tri). Salah satu kewajiban yang harus kedua perusahaan tersebut penuhi adalah mengembalikan pita frekuensi sebesar 5 MHz FDD kepada pemerintah.
Direktur SDPPI Kemenkominfo Ismail menjelaskan salah satu alasan Kemenkominfo menarik 5 MHz dari pita 2,1 GHz adalah untuk menjaga keseimbangan industri telekomunikasi.
“Ini adalah hasil dari evaluasi tim yang menilai proposal bisnis yang disampaikan oleh kedua perusahaan tersebut dan untuk mengoptimalkan penggunaan spektrum frekuensi untuk kebutuhan lainnya,” kata Ismail.