Pemerintah Diminta Manfaatkan Frekuensi 2,6 GHz untuk 5G

Puput Ady Sukarno
Senin, 14 Juni 2021 | 19:37 WIB
Ilustrasi teknologi 5G./REUTERS-Yves Herman
Ilustrasi teknologi 5G./REUTERS-Yves Herman
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diharapkan dapat menggunakan frekuensi 2,6 GHz untuk layanan 5G di Indonesia, seiring pentingnya peran satelit telekomunikasi bagi Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan pegunungan.

Heru Sutadi Direktur Eksekutif ICT Institute mengatakan, selama ini satelit telekomunikasi masih dijadikan tulang punggung jaringan telekomunikasi khususnya di daerah yang memiliki kondisi geografis yang menantang.

Selain itu satelit telekomunikasi juga dijadikan back up ketika terjadi gangguan serat optik.

"Jika pemerintah ingin menggelar layanan 5G di Indonesia, sebetulnya lebih tepat menggunakan frekuensi 2,6 GHz," ungkap Heru, seperti dikutip, Senin (14/6).

Saat ini, menurutnya, frekuensi 2,6 GHz hanya dipergunakan untuk industri tv berbayar yang tidak memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat maupun negara.

Terlebih lagi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari industri tv satelit berbayar ini juga tidak optimal. Pemerintah pun sebenarnya telah memiliki dasar hukum untuk mencabut izin penggunaan frekuensi 2,6 GHz.

Di dalam UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja Pasal 71 mengenai perubahan UU No.36/1999 diatur, jika penggunaan spektrum frekuensi radio tidak optimal dan/atau terdapat kepentingan umum yang lebih besar, Pemerintah dapat mencabut izin penggunaan spektrum tersebut.

Detailnya aturan ini pun telah diatur dalam Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri turunan UU Cipta Kerja di sektor telekomunikasi.

"Dari sisi teknologi dan ekosistem 5G di 2,6 GHz juga sudah sangat mature. Sehingga frekuensi yang paling mungkin segera dilelang Pemerintah untuk dapat dimanfaatkan layanan 5G adalah di 2,6 GHz yang memiliki lebar pita 190 MHz," terang Heru.

Meski begitu, kalaupun Pemerintah tidak mau mencabut izin frekuensi 2,6 GHz sekarang, maka secara administrasi izinnya akan otomatis berakhir pada 2024.

"Namun, sangat disayangkan karena pemanfaatannya di untuk penyiaran tidak optimal," ujarnya.

Anggota Komisi I Fraksi Golkar DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan hal senada bahwa dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan pegunungan, peran satelit telekomunikasi di Indonesia masih sangat strategis dan dibutuhkan masyarakat.

Menurutnya sudah saatnya Pemerintah mulai memperhatikan keberadaan satelit telekomunikasi Indonesia. Pasalnya keberadaan satelit telekomunikasi Indonesia yang handal juga diperlukan sebagai dukungan pada saat terjadi gangguan seperti yang dialami di Papua.

"Kita tidak bisa bergantung sepenuhnya kepada kabel optik," ungkap Bobby.

Seperti diketahui bahwa perbaikan kabel serat optik Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Sulawesi Maluku Papua Cable System (SMPCS) ruas Biak - Jayapura tengah dikebut PT Telkom Indonesia Tbk.

Saat ini PT Telkom sudah menyiapkan backup link dengan kapasitas 4,7 Gbps. Dari jumlah tersebut 2.662 Mbps ditunjang dari pemanfaatan link satelit.

Backup link sebesar 500 Mbps juga didapat dari radio long haul, dari Palapa Ring Timur sebesar 500 Mbps serta dari radio long haul Sarmi - Biak sebesar 1,6 Mbps.

Bobby mengapresiasi langkah cepat pemulihan jaringan telekomunikasi di Papua yang dilakukan Kominfo bersama dengan Telkom .

"Kami harap Telkom bisa segera menyelesaikan dan memulihkan jaringan kabel laut di Papua, dan Kominfo bisa memberikan kebijakan-kebijakan untuk bisa memastikan jaringan internet dan Telekomunikasi beroperasi walaupun belum optimal," terang Bobby.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper