Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat telekomunikasi meminta pemerintah untuk mengatur layanan satelit yang saat ini masih banyak ditemui di wilayah yang terjangkau serat optik dan seluler.
Pemerataan layanan sulit terwujud jika satelit, infrastruktur internet di langit, tidak memanfaatkan keunggulannya melayani wilayah-wilayah tak tersentuh serat optik.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan idealnya ada kebijakan yang mengatur pembagian peran antara satelit, seluler, dan serat optik, agar ekosistem telekomunikasi dapat berjalan secara sehat.
“Memang diharapkan ada pengaturan antara mana menggunakan satelit, mana wilayah dengan serat optik dan mana seluler. Agar kompetisi sehat dan antar teknologi saling mengisi atau komplementer,” kata Heru saat dihubungi Bisnis pada Jumat (22/8/2025).
Heru menjelaskan satelit memiliki cakupan yang luas sehingga dapat memberikan layanan ke seluruh Indonesia, mulai dari kota hingga pelosok.
Hal inilah yang membuat layanan satelit tetap digunakan di daerah perkotaan, meskipun masing-masing teknologi baik satelit, seluler, maupun serat optik memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Dia menambahkan, perkembangan teknologi satelit orbit rendah atau low earth orbit (LEO) juga meningkatkan kapasitas dan kecepatan layanan internet.
“Dengan perkembangan LEO, kapasitas dan kecepatan untuk digunakan layanan internet juga meningkat. Kalaupun kota banyak makai karena memang ada kebutuhan kecepatan internet yang tinggi,” tuturnya.
Sebelumnya, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkap satelit broadband tidak sepenuhnya digunakan untuk wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Sekretaris Jenderal APJII, Zulfadly Syam, mengatakan masih terdapat wilayah perkotaan yang menggunakan internet satelit. Meskipun mayoritas pemasangan satelit memang masih terjadi di perdesaan.
“Kami berpikir satelit broadband itu harusnya di tempat 3T. Nah apa yang terjadi sekarang? 61,11% ada di daerah perdesaan. Ada pula yang memasang satelit broadband di daerah perkotaan,” kata Zulfady dalam Media Diskusi usai Peluncuran Hasil Survei APJII: Profil Internet Indonesia 2025 di Jakarta pada Rabu (6/8/2025).
Dia menuturkan temuan ini cukup mengundang diskusi internal APJII, sebab idealnya pemanfaatan satelit broadband terfokus pada kawasan rural yang sulit dijangkau layanan kabel atau seluler.
Namun, data menunjukkan sekitar 21,07% penggunaan satelit broadband justru berada di daerah perkotaan, sementara daerah pinggiran kota tercatat sebesar 8,40%. Adapun penggunaan di kawasan pantai dan pesisir mencapai 7,50%, dan hanya 1,93% yang benar-benar berada di tengah hutan.
“Satelit broadband gimana sih? Ini kan harusnya ke daerah-daerah rural. Kok masuk ke kota? Di kota sebenarnya kalau dipakai FO aja sudah kalah tuh satelit broadband. Tapi kenyataannya seperti ini,” katanya.
Menurut Zulfadly, APJII bersama para penyelenggara jasa internet sebenarnya berharap penggunaan satelit broadband lebih banyak terkonsentrasi pada area yang memang minim infrastruktur, bukan di kota yang relatif sudah memiliki banyak pilihan konektivitas.
“Nah kalau yang kami harapkan sebagai ISP under APJII nih ya, kami ingin di tengah hutan ini yang paling banyak digunakan satelit broadband dan di daerah perdesaan,” ucapnya.
Survei APJII mencatat berbagai alasan masyarakat memilih satelit broadband. Mayoritas responden atau sebesar 59,26% menyebutkan karena kecepatan internet yang ditawarkan cukup memadai atau tinggi untuk kebutuhan mereka.
Sebanyak 14,80% mengaku koneksi kabel atau seluler tidak stabil, 11,82% menyebutkan tidak ada alternatif koneksi lain yang menjangkau rumah mereka, 7,53% menggunakan layanan ini untuk kebutuhan profesional atau bisnis di wilayah terpencil, dan 6,58% menyatakan alasan lain.
Dari sisi kecepatan, sekitar 30,86% pelanggan satelit broadband menikmati bandwidth antara 10 hingga kurang dari 25 Mbps. Selain itu, 13,72% responden menggunakan kecepatan kurang dari 10 Mbps, 11,73% berada di kisaran 25 hingga kurang dari 50 Mbps, sementara 12,80% menikmati kecepatan 100 Mbps atau lebih, sedangkan 13,81% pengguna tidak mengetahui pasti kapasitas bandwidth yang digunakan.
“Nah besarnya bandwidth satelit broadband yang dirasakan oleh atau per langganannya individu-individu yang paling besar adalah di angka 10 sampai 25 Mbps. Ini cukup besar juga sebenarnya, 30,8%, lalu 13,7% kurang dari 10 Mbps. 12,8% 100 Mbps atau lebih,” kata Zulfadly.
Dia menekankan permintaan satelit broadband berkualitas tinggi pun cukup besar, terlihat dari adanya pelanggan yang mengakses hingga 100 Mbps atau lebih. Meski demikian, distribusi penggunaan yang cukup tinggi di wilayah perkotaan tetap menjadi hal yang mengejutkan.
“Cuma dari daerah kontribusinya atau apa namanya distribusinya, kami agak sedikit kaget ketika satelit broadband ini masuk ke daerah perkotaan,” tutup Zulfadly.