Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) mengapresiasi langkah Direktur Jenderal Pajak (DJP) yang kembali menunjuk 12 perusahaan baru sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) dan memenuhi kriteria pemungut pajak perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Ketua Umum idEA Bima Laga mengatakan bahwa dengan total 28 perusahaan yang dikenai pungutan pajak tersebut akan menciptakan persaingan bisnis yang lebih adil (level of playing field).
“Pemberlakuan PPN atas barang kena pajak [BKP] dan jasa tidak berwujud menjadi sarana untuk memberikan kesetaraan perlakuan PPMSE Dalam Negeri dan Luar Negeri serta meningkatkan penerimaan negara,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (9/9/2020).
Namun, Bima menyoroti masuknya platform perdagangan elektronik (e-commerce), Shopee dalam daftar 28 perusahaan yang dikenakan PPN 10 persen atas produk digital. Menurutnya, Direktur Jenderal Pajak seharusnya lebih mengutamakan perusahaan di luar negeri.
“Terkait penunjukkan PPMSE dalam negeri sebagai pemungut PPN, kami berharap DJP lebih mengutamakan untuk menunjuk langsung pedagang atau PPMSE Luar Negeri, karena PPMSE Dalam Negeri tidak bertanggung jawab dalam menerbitkan commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bima juga berharap bahwa implementasi PPN Barang Kena Pajak Tidak Berwujud perlu dilakukan secara bertahap dan hati-hati terutama dalam penunjukkan pemungut dan pelapor dari PPMSE Dalam Negeri.
“Terkait penunjukan anggota IdEA sebagai pemungut PPN, kami terus berkomunikasi dengan platform tersebut agar bisa membantu semaksimal mungkin baik dalam implementasi maupun komunikasi dengan pihak DJP,” katanya.
Sementara itu, VP Economist Bank Permata, Josua Pardede mengamini bahwa pajak digital merupakan inovasi dalam perpajakan, yang berfungsi dalam memberikan prinsip keadilan bagi seluruh pelaku bisnis yang menyasar pasar Tanah Air.
“Hingga Juni ini, baru beberapa negara mengimplementasikan kebijakan ini, seperti Perancis, Hungaria, Italia, dan Turki. Jenis pajak yang mereka kenakan pun cenderung serupa dengan kebijakan pemerintah saat ini, yaitu pengenaan pajak atas transaksi digital,” katanya.
Namun, dia mengatakan bahwa agar pemerintah perlu berhati-hati dalam penerapannya. Menurutnya, salah satu yang perlu diperhatikan adalah penerapan tingkat pajak.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia membebankan PPN serupa dengan barang lainnya, yaitu 10 persen. Adapun di Eropa yang sudah menerapkannya hanya mengenakan pajak sekitar 1—7,5 persen.
Josua menilai tingginya tingkat pajak digital memberikan kekhawatiran adanya ancaman retaliasi dari pemerintah Amerika Serikat (AS) dan China.
“Hal ini terjadi pada Perancis sehingga Pemerintah Perancis terpaksa menunda penerapan pajak ini. Oleh karena itu, diperlukan adanya koordinasi dengan pemerintah AS terlebih dahulu agar tidak terjadi ancaman retaliasi, yang justru akan menekan sektor-sektor lain, seperti manufaktur nantinya,” katanya.
Tidak hanya itu, Josua juga mengatakan bahwa pemerintah juga harus menekankan bahwa tujuan dari penerapan pajak ini ialah keadilan bagi seluruh pelaku bisnis, dan bukan untuk menunjang pendapatan pemerintah secara signifikan.
Menurut catatan Bisnis, Direktur Jenderal Pajak kembali menunjuk 12 perusahaan baru yang memenuhi kriteria sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) dan memenuhi kriteria pemungut pajak perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa PPN yang akan dipungut sebesar 10 persen atas barang dan jasa digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia yang akan dihimpun pada 1 Oktober 2020.
Adapun terdapat 28 perusahaan yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN Digital yang terbagi atas tiga gelombang, yaitu 6 perusahaan pada gelombang pertama, 10 pada gelombang kedua, dan 12 perusahaan di gelombang ketiga.