Bisnis.com, JAKARTA – Center for Indonesia Taxation Analyst (CITA) menilai langkah kemitraan menjadi kunci untuk memudahkan pemungutan pajak digital dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Research Manager CITA, Fajry Akbar mengatakan bahwa kemitraan dengan pelaku usaha terkait merupakan langkah tepat agar pengenaan pajak digital, yaitu pajak pertambahan nilai (PPn) berjalan dengan efektif.
“Ini tantangannya, mengingat penyedia jasa berada di luar enforcement jurisdiction. Partnership menjadi kata kunci. Perlu pendekatan yang berbeda. Kita juga tak bisa terlalu keras ke mereka [pelaku terkait]. Namun, pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan diskusi, komunikasi yang intens, dan sebisa mungkin menghindari tax dispute,” katanya saat dihubungi Bisnis.com, Rabu (9/9/2020).
Sekadar informasi, enforcement jurisdiction merupakan bentuk kewenangan negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya.
Fajry menilai bahwa meskipun kecil kemungkinan bagi pelaku digital terkait untuk tidak patuh, tetapi mengingat risiko bisnisnya yang berbiaya lebih besar kemitraan memang langkah strategis saat ini.
Dia mengatakan bahwa langkah pemerintah untuk menambah jumlah daftar perusahaan yang akan dipungut pajak digital menjadi 28 merupakan keputusan yang tepat. Pasalnya, pengenaan PPn bagi PMSE hadir untuk menjaga equal playing field.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa penerimaan PPn dari PMSE masih sulit diproyeksikan. Hal ini dikarenakan proses bisnis dari PMSE hampir seluruhnya berbentuk freemium (diakses secara gratis).
“Banyak yang menggunakan belum tentu besar potensinya, karena potensi penerimaan PPn itu baru ada kalau ada yang beli secara premium, kalau menggunakan secara gratis, tidak ada penerimaan PPN,” katanya.
Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa untuk melihat potensi penerimaan PPn PMSE tidak bisa menggunakan data makro atau industri seperti data akses penggunaan platform.