Naik Dua Kali Lipat, Industri Satelit Terbantu Program Bakti

Leo Dwi Jatmiko
Minggu, 30 Juni 2019 | 13:40 WIB
Peluncuran satelit SES-12./dok. teleglobal
Peluncuran satelit SES-12./dok. teleglobal
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Hendra Gunawan mengatakan pada 2019 diperkirakan industri satelit tumbuh dua kali lipat dibandingkan dengan 2018, didorong oleh peningkatan penggunaan kapasitas data.

Dia menjelaskan pada 2018, penggunaan kapasitas satelit di Indonesia sebanyak 189 transponder atau sekitar 20 Gbps. Dari kapasitas tersebut, sambungnya, sebanyak 99 persen menggunakan satelit konvensional yang 77 persen diantaranya disuplai oleh satelit nasional.

Adapun pada tahun ini, angka tersebut diproyeksikan naik 100 persen menjadi 40 Gbps. Hendra mengatakan pertumbuhan penggunaan kapasitas disebabkan oleh sejumlah program milik Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi.

“Pertumbuhan didominasi oleh kebutuhan pemerataan infrastruktur dan layanan telekomunikasi ke seluruh wilayah Indonesia melalui program layanan Akses Internet (BAKTI Aksi) dan layanan backhaul BTS (BAKTI Sinyal),” kata Hendra kepada Bisnis, Jumat (29/6/2019).

Diketahui lewat program Bakti Aksi dan Bakti Sinyal, pemerintah berencana membangun 5.000 BTS di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) untuk memberikan akses internet yang merata. Program tersebut berjalan dengan melibatkan pemerintah daerah setempat dan sejumlah operator telekomunikasi termasuk operator satelit.

Pemerintah menyewa lima satelit dari lima perusahaan yaitu PT Aplikanusa Lintasarta, PT Indo Pratama Teleglobal,  Konsorsium Iforte HTS, PT Pasifik Satelit Nusantara, dan PT Telekomunikasi untuk menjalankan program tersebut.

Penyewaan terhitung mulai 2019-2024 atau sampai Satelit Multifungsi Satria mengorbit. Bakti mengalokasikan anggaran sebesar Rp 7,5 triliun untuk menyewa satelit selama 5 tahun. Biaya tersebut belum termasuk untuk stasiun bumi.

Adapun kapasitas satelit yang disediakan 5 operator tersebut sebesar 21 Gbps (Gigabytes per second) yang dibayarkan dengan skema Service Level Agreement (SLA) yang telah disepakati.

Hendra menambahkan selain program Bakti, berdasarkan hasil diskusi APSAT 2019, diprediksi juga pada 2025 akan terdapat suplai HTS ke Indonesia mencapai 900 Gbps atau hampir 20x kapasitas saat ini.

Hendra mengatakan untuk menghadapi suplai HTS yang besar itu, industri satelit kembali membutuhkan dukungan dari pemerintah dalam membuka pasar satelit.

“Jika pertumbuhan permintaan tidak seimbang dengan suplai, maka tekanan harga akan semakin besar pada 2025,” kata Hendra.

Tantangan

Meski industri satelit cukup menjanjikan pada tahun ini, namun perjalan industri satelit bukan tanpa rintangan.

Hendra menuturkan banyaknya kapasitas in-orbit, memberikan banyak tekanan pada harga. Selain itu, perubahan cepat dalam teknologi satelit dan bisnis model, juga menjadi tantangan bagi industri satelit saat ini.

“Tren teknologi telah bergeser dari satelit konvensional ke satelit HTS yang dapat menurunkan harga bit per second, sehingga terjadi tekanan harga yang luar biasa untuk satelit konvensional,” kata Hendra.

Dalam perkembangan bisnis satelit saat ini, lanjutnya, kepastian mengenai frekuensi juga dibutuhkan, misalnya dengan tidak mengubah alokasi frekuensi 3,5 GHz dan 28 GHz yang digunakan oleh satelit saat ini.

Hendra menjelaskan ketika satelit telah diluncurkan, maka frekuensi yang digunakan tidak dapat diubah, karena akan berdampak kapasitas eksisting yang berjalan menjadi tidak optimal bahkan berpotensi tidak dapat digunakan.

Oleh karena itu, jika pemerintah ingin menggunakan frekuensi 3,5 GHz untuk keperluan 5G lewat skema berbagi frekuensi, Hendra menyarankan agar pemerintah melihat cara yang dilakukan saat ini antara operator satelit, operator 5G dan pemerintah Amerika Serikat.

Dia mengatakan saat ini pemerintah Amerika Serikat masih mengkaji proposal dari operator satelit yang tergabung dalam C-band alliance (CBA) yang meminta kompensasi tidak hanya untuk investasi, namun mempertimbangkan kelangsungan layanan ke pelanggan.

“[Dukungan yang dibutuhkan] mempertahankan frekuensi yang saat ini digunakan oleh satelit, seperti yang kita ketahui bersama frekuensi 3.5 GHz dan 28 GHz yang saat ini digunakan oleh satelit menjadi kandidat untuk 5G,” kata Hendra.

Adapun mengenai besaran nilai yang harus dibayarkan, Assi sempat memperkirakan untuk  kompensasi investasi di transponder saja, pemerintah harus merogoh kantong senilai US$3 juta—US$4 juta per transponder. Jumlah transponder yang terdapat di frekuensi 3,4 Ghz—3,7 Ghz sebanyak 12 transponder per satelit.

Artinya untuk transponder di satu satelit saja, pemerintah harus membayar senilai US$36 juta—US$48 juta atau setara dengan Rp507 miliar—Rp676 miliar. Angka itu belum termasuk biaya stasiun bumi dan kompensasi layanan pelanggan. Saat ini terdapat 5 satelit yang mengorbit menggunakan frekuensi 3,5 GHz.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper