Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan layanan satelit membuka peluang untuk berbagi atau share frekuensi dengan pemerintah untuk pemanfaatan generasi kelima (5G) di frekuensi 3,5 Ghz, asalkan pemerintah atau operator 5G mau memberi kompensasi bisnis dan investasi.
Ketua Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Hendra Gunawan mengatakan, dengan kompensasi tersebut, artinya pemerintah seakan menyewa semua kapasitas satelit yang berada di frekuensi 3,5 Ghz selama 15 tahun atau seumur satelit beroperasi.
Diketahui satelit C-band dibagi menjadi dua, yaitu Extended C-band di pita frekuensi 3,4 Ghz—3,7 Ghz dan Standard C-band di frekuensi 3,7 Ghz—4,2 Ghz. Pemerintah mewacanakan mendorong pengguna frekuensi Extended C-band untuk berbagi frekuensi dengan teknologi 5G.
Baca Juga 5G di Jawa, Satelit di Luar Jawa |
---|
“Karena beberapa operator sudah investasi di satelit ataupun di ground segment atau stasiun bumi. Contoh BRISAT meluncur pada 2016, Telkom 2017—2018. Semua ada extended C. Itu harus dikompensasi karena bisnisnya menjadi hilang,” kata Hendra di Jakarta, Selasa (26/6/2019).
Adapun mengenai besaran nilai yang harus dibayarkan, Hendra memperkirakan untuk kompensasi investasi di transponder saja, pemerintah harus merogoh kantong senilai US$3 juta—US$4 juta per transponder. Jumlah transponder yang terdapat di frekuensi 3,4 Ghz—3,7 Ghz sebanyak 12 transponder.
Artinya untuk satelit transponder saja, pemerintah harus membayar senilai US$36 juta—US$48 juta atau setara dengan Rp507 miliar—Rp676 miliar. Angka itu belum termasuk investasi di stasiun bumi.
“Mungkin hitungan Telkom, BRI dan PSN akan berbeda karena investasinya beda-beda, kapasitasnya beda,” kata Hendra.
Selain kompensasi, Hendra menambahkan sebelum berbagi frekuensi 3,5Ghz, pemerintah juga harus uji coba dampak berbagi frekuensi terhadap frekunsi lainnya seperti Standard C-band yang berada di 3,7 Ghz—4,2 Ghz.
Dia mengatakan selama ini pemerintah belum pernah melakukan uji coba mengenai dampak berbagi frekuensi.
“Kami masih diskusi. Kami akan uji coba agar tidak interferensi [frekuensi 5G dan satelit], tetapi kalau mengganggu, itu [berbagi frekuensi 3,5 Ghz] harus dipertimbangkan kembali [pemanfaatannya],” kata Hendra.
Hendra mengatakan saat ini pemanfaatan satelit di Indonesia masih cukup masif. Dia mengatakan terdapat ribuan VSAT yang bergerak di sektor telekomunikasi, perbankan, dan broadcasting yang terhubung dengan satelit di 3,5 Ghz.
Di samping itu, lanjutnya, pemanfaaatan frekuensi 3,5 Ghz untuk satelit masih menjadi primadona bagi industri satelit karena frekuensi tersebut cocok untuk Indonesia yang memiliki iklim tropis.
“Indonesia sebagai negara tropis, C-band masih terandal sampai sekarang sehingga kami perlu diskusi lebih lanjut dengan regulator dan operator 5G agar tidak terganggu,” kata Hendra.