Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai larangan siaran eksklusif jurnalisme investigasi yang dimuat di dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran tidak mencerminkan pokok dari UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pengamat media Ignatius Haryanto memandang bahwa Pasal 50B ayat (2) huruf c dalam draf RUU Penyiaran merupakan suatu hal yang aneh. Sebab, masih terlalu sedikit media yang memiliki kemampuan untuk melakukan jurnalisme investigasi.
“Kalau ada regulasi secara spesifik melarang tayangan jurnalisme investigasi, buat saya ini sangat aneh, dan mungkin tidak mencerminkan bahwa pembuatnya ini paham dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pers diakui sebagai alat kontrol sosial kepada pemerintah,” kata Ignatius kepada Bisnis, Senin (13/5/2024).
Menurutnya, masyarakat akan sangat terbantu dengan adanya jurnalisme investigasi yang dapat membongkar hal-hal yang selama ini merugikan publik.
“Kalaupun ada aturan semacam ini [larangan siaran eksklusif jurnalisme investigasi], ini sangat aneh dan harus ditolak,” ujarnya.
Ignatius menyampaikan bahwa semestinya UU Penyiaran perlu dilakukan revisi mengingat UU Nomor 32 Tahun 2002 ini yang sudah berusia 22 tahun, termasuk terkait konvergensi, digitalisasi, hingga aturan lainnya. Artinya, ungkap dia, UU Penyiaran telah mengalami banyak ketertinggalan.
“Saya kok merasa memang bahwa banyak politisi kita tidak suka dengan kebebasan pers, karena kebebasan pers pada akhirnya juga akan menyasar mereka sendiri,“ tuturnya.
Untuk itu, Ignatius menilai bahwa revisi draf RUU Penyiaran harus melihat kepentingan yang lebih luas, mulai dari kepentingan publik hingga perkembangan teknologi. “Sehingga revisi undang-undang penyiaran memang sesuai dengan harapan publik, bukan harapan dari partai politik ataupun pemilik media,” ungkapnya.
Di sisi lain, Ignatius menyebut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga perlu dilakukan perbaikan. Menurutnya, KPI sejauh ini mencoba untuk mengawasi dunia penyiaran meski belum berjalan optimal.
“Kalau mau mengembalikan kekuatan dari KPI, saya kira adalah dengan mengembalikan kepada kewenangan-kewenangan yang sudah diatur dalam UU Penyiaran,” tandasnya.
Sebelumnya, peraturan baru mengenai penyiaran bakal melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Peraturan tersebut nantinya termuat dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran. Hal itu terungkap dalam bahan rapat Badan Legislasi (Baleg) 27 Maret 2024 draf RUU Penyiaran.
Dalam draf RUU Penyiaran itu dijelaskan bahwa di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan enam Pasal, yakni Pasal 50A, Pasal 50B, Pasal 50C, Pasal 50D, Pasal 50E, dan Pasal 50F.
Pasal terkait larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi tercantum dalam Pasal 50B ayat (2) huruf c. Beleid itu berbunyi bahwa selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran, Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
SIS sendiri merupakan standar atas isi suara dan konten suara yang berisi tentang batasan, larangan, kewajiban, dan pengaturan penyiaran, serta sanksi pedoman perilaku penyiaran (P3) yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Adapun jika dilihat pasal demi pasal, Pasal 50B ayat (2) huruf c hanya tertulis pasal tersebut cukup jelas.
Dalam draf RUU tersebut dijelaskan bahwa kebebasan ruang publik di dalam dunia penyiaran perlu dijamin oleh kebijakan dalam bentuk perundang-undangan. Sebab, penyiaran merupakan public sphere atau dengan kata lain dunia penyiaran adalah ruang opini dan akses publik secara demokratis dan rasional dapat dilakukan.
“Pengaturan penyelenggaraaan penyiaran dalam praktiknya harus selalu berdasarkan prinsip diversity of content dan diversity of ownership,” tulis draf RUU Penyiaran, dikutip pada Senin (13/5/2024)