Bisnis.com, JAKARTA - PT Indosat Tbk. (ISAT) bakal meneruskan ekspansi jaringan ke luar Pulau Jawa pada tahun ini. Perusahaan melirik kerja sama dengan Starlink, yang disebut dapat menjadi alternatif jaringan backhaul ke dearah pelosok.
Chief Technology Officer Indosat Desmond Cheung mengatakan perusahaan telah membangun jaringan di banyak wilayah dan menambah lebih dari 42.000 base transceiver station (BTS) 4G pada 2023.
Agresivitas pembangunan jaringan tersebut akan dilanjutkan pada tahun ini untuk mendorong percepatan digitalisasi khususnya di Indonesia Timur seperti Papua dan Maluku.
“Kami ingin memberikan lebih banyak pilihan kepada masyarakat di luar Jawa," kata Desmon kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Dia juga mengungkapkan ketertarikan Indosat bekerja sama dengan sistem internet satelit milik Elon Musk, Starlink. Hal ini dikarenakan low-earth-orbiter Starlink telah mendapatkan izin very small aperture terminal (VSAT) untuk jaringan penyalur (backhaul) dan izin penyedia jasa internet (ISP) sebagai akses.
"Izin tersebut dapat memangkas biaya operasional. Jadi ongkos transmisi lebih rendah, sehingga kami memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menjangkau wilayah yang luas," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Pengembangan Bisnis (CDO) Telkomsat Anggoro Kurnianto Widiawan mengatakan perusahaan telah memiliki kerja sama dengan SpaceX Starlink sejak 2022. Permintaan terhadap Starlink terus meningkat, termasuk untuk backhaul.
“Permintaan ada terus. Untuk Telkomsat kontribusi [Starlink] cukup signifikan. Starlink membuka layanan baru sama seperti satelit HTS Merah Putih,” kata Anggoro.
Backhaul adalah suatu jalur yang menghubungkan dari suatu Base Station ke Base Station lain atau dari suatu Base Station ke core network. Di daerah rural, hal ini menjadi isu mengingat geografis di daerah rural yang terjal dan sulit dijangkau oleh serat optik, bahkan gelombang micro atau microwave.
Laporan Kemenkominfo menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 12.000 desa yang belum mendapat akses internet pada 2020. Jumlah tersebut tengah dipangkas, dan belum memberikan hasil yang signifikan.
Kemudian, Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) penetrasi internet di Indonesia mencapai 77 persen. Artinya, ada 23 persen penduduk Indonesia yang belum mendapat akses internet. Ironinya, 20 persen dari 23 persen yang belum mendapat akses internet berada di Indonesia bagian timur.
Dengan berperan sebagai penyedia backhaul, perusahaan telekomunikasi yang ingin menghadirkan layanan di daerah terpencil dapat menggunakan opsi layanan Starlink.
Namun, perlu diketahui bahwa harga layanan Starlink lebih mahal jika dibandingkan dengan harga sewa serat optik dan fixed wireless acces (FWA).
“Jauh lebih mahal harganya dibandingkan dengan fiber optik. Beberapa kali lipat. Jadi perbandingannya sangat jauh dan penawaran mereka berbeda. Kalau fiber optik bandwidthnya besar sehingga jadi unlimited,” kata Anggoro. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)