Nestapa Pemain Telko RI, Dituntut Kebut Jaringan Dibebani Ongkos Tinggi

Crysania Suhartanto,Leo Dwi Jatmiko
Sabtu, 16 Desember 2023 | 09:48 WIB
Menara telekomunikasi Mitratel/Dok. Mitratel
Menara telekomunikasi Mitratel/Dok. Mitratel
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Biaya hak penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi yang makin mahal dikhawatirkan dapat menghambat peningkatan kualitas layanan ke masyarakat. Berdampak pada ke banyak aspek, termasuk potensi kehilangan pendapatan negara. 

Peningkatan kapasitas dan jaringan membutuhkan ongkos yang makin besar, tetapi beban yang dipikul operator tidak berkurang. 

Dalam laporan yang berjudul “Biaya Spektrum Berkelanjutan untuk Memperkuat Ekonomi Digital Indonesia”, Asosiasi Operator Seluler di Seluruh Dunia (GSMA) mengungkapkan bahwa sejak 2010, perkiraan biaya total spektrum tahunan bagi operator seluler di Indonesia telah meningkat lebih dari lima kali lipat. 

Hal ini disebabkan oleh biaya yang berkaitan dengan pelelangan dan biaya spektrum frekuensi yang terkait dengan perpanjangan perizinan. Selain itu biaya spektrum frekuensi yang disesuaikan setiap tahunnya terus meningkat dikarenakan inflasi. 

Sebaliknya, pertumbuhan pendapatan industri asimetris dengan pendapatan rata-rata per pengguna layanan seluler di mana terjadi penurunan sebesar 48% dalam 10 tahun terakhir.

GSMA juga menyoroti biaya yang berkaitan dengan spektrum frekuensi di Indonesia yang sangat tinggi. Rasio biaya spektrum frekuensi tahunan dibandingkan dengan pendapatan seluler di Indonesia saat ini berada pada 12,2%, sementara rasio rata-rata di kawasan APAC dan global masing-masing hanya sebesar 8,7% dan 7,0%. 

Dengan pasokan spektrum frekuensi yang akan berkembang secara signifikan di Indonesia, analisis GSMA menunjukkan bahwa pengurangan harga satuan spektrum frekuensi sangat penting dilakukan guna menghindari total biaya yang melonjak. Jika tidak, operator akan kesulitan melakukan investasi yang signifikan, termasuk dalam pengembangan 5G.

Ilustrasi jairngan 5G
Ilustrasi jairngan 5G

Kesulitan ini akan berdampak buruk seperti penyebaran jaringan yang lebih lambat, pengalaman seluler konsumen yang kurang baik, dan hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi yang yang hadir dari aplikasi-aplikasi yang menggunakan teknologi 5G terbaru. 

Sementara itu, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan jika merujuk studi tentang harga spektrum yang dilakukan Coleago, bahwa ketika rasio berada di atas 10%, bisnis seluler masuk kategori sulit untuk berkelanjutan. 

“Artinya angka ini bukan hanya mengancam satu perusahaan operator seluler, tetapi jika didiamkan terus bisa berbahaya bagi industri, dan bahkan bisa berdampak negatif secara nasional,” kata Sigit kepada Bisnis, Sabtu (16/12/2023). 

Sigit menambahkan dampak langsung dari kebijakan ini sudah terlihat. Misalnya operator sangat berat untuk beralih ke teknologi baru seperti 5G, yang membutuhkan frekuensi lebih tinggi dan jauh lebih lebar, 

Dampak lainnya adalah potensi hilangnya kesempatan inovasi dan kasus-kasus pemanfaatan baru, di mana secara makro berkurangnya potensi kontribusi GDP dari sektor telekomunikasi kedepannya. 

“Kalau adopsi teknologi baru terlambat, juga berdampak pada menurunnya daya saing negara secara global dan juga berkurangnya peluang mendapatkan “kue” ekonomi digital yang tentunya berbasis penggunaan data yang makin broadband dan volume yang makin besar,” kata Sigit.

Mitra ojek online melakukan transaksi lewat jaringan infrastruktur telekomunikasi
Mitra ojek online melakukan transaksi lewat jaringan infrastruktur telekomunikasi
 


Sigit menduga tingginya BHP telekomunikasi  terjadi karena beberapa faktor mulai dari formula perhitungan harga frekuensi (NKICB) yang sudah tidak relevan dan mulai ditemukan banyak permasalahan, hingga target pendapatan negara secara fiskal dari sektor telekomunikasi yang ditetapkan oleh Kemenkeu, terus meningkat dari tahun ke tahun. 

“Jadi meskipun industri sedang tidak baik-baik saja, dan Kemenkominfo sebagai regulator dan pembina industri tahu kondisi tersebut, tetapi seperti “tidak berdaya” menghadapi target-target tersebut,” kata Sigit. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman:
  1. 1
  2. 2
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper