Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) meminta pemerintah untuk turut menarik biaya kepada platform over the top (OTT) seperti Whatsapp, mengingat industri tersebut mengalami pertumbuhan yang pesar dibandingkan operator.
Wakil Ketua Umum ATSI Merza Fachys mengatakan kondisi industri digital sedang meningkat pesat. Berbanding terbalik dengan industri telekomunikasi infrastruktur.
Padahal, ujar Merza, industri telekomunikasi infrastruktur yang sedang berdarah-darah ini dibebankan biaya penyelenggaraan yang cukup besar. Sementara di sisi lain, industri digital justru hanya dibebankan biaya pajak.
“Jangan cuma menarik biaya dari infrastruktur, (pemerintah) menarik (biaya) juga dari digital,” ujar Merza pada paparannya di Senopati, Senin (13/11/2023).
Merza yang merupakan Presiden Direktur dari Smartfren mengatakan para industri digital ini dapat dibebankan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ataupun biaya hak penyelenggaraan (BHP) universal service obligation (USO).
Merza bercerita pemerintah seakan tidak adil pada operator telekomunikasi infrastruktur. Menurut Merza, rasio BHP frekuensi terhadap pendapatan kotor operator seluler mencapai 12%. Angka inipun jauh lebih tinggi daripada data global yang sebesar 7% dan APAC 8,7%.
Padahal, BHP frekuensi merupakan salah satu dari sekian banyak biaya yang dibebankan pada operator infrastruktur.
Selain itu, Merza menambahkan pendapatan operator seluler saat ini hanya tumbuh sebesar 5,96%. Pertumbuhan trafik data di Indonesia yang mencapai 80,7% juga tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan pendapatan operator.
Merza pun sempat curhat kalau industri operator juga ingin beralih ke dunia digital.
Namun, menurutnya jika semuanya beralih ke digital, hal ini akan membuat perkembangan infrastruktur jadi terhenti dan akan sangat membahayakan telekomunikasi Indonesia.
Menurut Merza, kehadiran industri operator infrastruktur penting dalam transformasi digital untuk menunjang potensi ekonomi digital, dengan adanya teknologi 5G.
Sebagai informasi, riset ITB dengan Qualcomm dan Axiata menemukan teknologi 5G akan berkontribusi Rp3.500 triliun pada GDP dan akan membuka 5,1 juta tenaga kerja baru.
“Justru dua-dua nya harus tumbuh bareng-bareng, dua-duanya harus dijaga bareng-bareng, dua-duanya harus sehat bersama-sama,” ujar Merza.