Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tengah mengkaji usulan untuk menerapkan tarif kepada layanan over the top (OTT) atau pemain teknologi besar seperti Google, Facebook, Whatsapp dan lain sebagai.
Direktur Penataan Sumber Daya Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Denny Setiawan mengatakan pemerintah telah menerima beberapa masukan-masukan untuk mengenakan tarif terhadap OTT tersebut.
Sayangnya, Denny tidak menjelaskan secara rinci tarif yang dimaksud dan kapan penerapan tarif tersebut bakal berlaku
“Pemerintah menerima beberapa masukan-masukan untuk mengenakan tarif terhadap OTT tersebut. Pada saat ini kami tengah melakukan kajian atas usulan-usulan tersebut,” kata Denny kepada Bisnis, Rabu (8/11/2023).
Sebelumnya, Pengamat menilai bisnis over the top (OTT) seharusnya turut dikenakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP), bukan hanya operator telekomunikasi.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai saat ini perusahaan OTT hanya dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Padahal, menurutnya, perusahaan OTT juga dapat dikenakan PNBP.
“Seharusnya yang memberikan kontribusi besar bagi negara saat ini adalah bisnis OTT. Jadi yang bisa dikejar saat ini adalah bisnis OTT, sebagai tambahan dari bisnis infrastruktur,” ujar Heru.
Heru mengatakan situasi industri OTT kontras dengan kondisi operator telekomunikasi.
Saat ini industri telekomunikasi sudah tergerus dengan bisnis OTT, sehingga profitnya tidak sebesar 10-15 tahun yang lalu.
Namun, yang terjadi pemerintah justru mengejar pendapatan dari pemain telekomunikasi, bukan dari OTT yang telah menggerus pendapatan operator.
Heru menilai beban pajak ataupun PNBP yang dilayangkan pada operator justru makin besar, dikarenakan pemerintah terutama Kementerian Keuangan masih menganggap operator telekomunikasi merupakan sektor dengan pemasukan yang besar.
Beban tersebut mulai dari PNBP, biaya hak penggunaan (BHP) telekomunikasi yang sekitar 0,5% dari pendapatan kotor, BHP USO sebesar 1,25% dari pendapatan kotor, BHP frekuensi, hingga retribusi daerah.
“(Padahal) dunia sudah berubah, tidak lagi seperti di masa lalu yang pertumbuhannya dua digit. Sekarang satu saja sudah bagus, bahkan masih ada yang merugi,” ujar Heru.
BPKN Soroti Whatsapp
Dalam perkembangannya, OTT Whatsapp juga tengah mendapat sorotan dari Badan Pelindungan Konsumen Nasional (BPKN).
BPKN mulai khawatir dengan maraknya kasus penipuan dan tindak kejahatan peretasan di WhatsApp yang makin merajalela. Para pelaku menggunakan Whatsapp untuk menipu masyarakat dengan kerugian mencapai milyaran rupiah.
Ketua Badan Pelindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E. Halim mengatakan modus kejahatan di Whatsapp makib berkembang dan telah berjalan sejak lama. Kerugian yang muncul di media saat ini, menurutnya, hanyalah puncak gunung es.
“Bisa jadi jumlah masyarakat yang mengalami penipuan dan peretasan di WhatsApp jauh lebih besar, dengan kerugian yang beragam. Hanya saja kebanyakan dari mereka mungkin enggan [melapor], karena tidak tahu bagaimana cara melaporkannya” kata Rizal.
Saat ini WhatsApp memiliki 112 juta konsumen di Indonesia. Dengan jumlah pengguna yang besar itu, Whatsapp tidak menyediakan pusat layanan konsumen dan pusat pengoperasian di Indonesia, sehingga menyulitkan masyarakat selaku konsumen, saat mendapat masalah di Whatsapp.
Jika terjadi permasalahan termasuk kasus penipuan dan peretasan, konsumen tidak tau bagaimana melaporkan hal ini dengan mudah ke WhatsApp.
“Pusat layanan konsumen itu tujuannya memberikan kemudahan kepada konsumen. WhatsApp kan menyelenggarakan kegiatan usaha di Indonesia. Mereka menghasilkan uang dari data pelanggan yang dikelolanya. Walaupun tidak membayar langsung, tetapi masyarakat pengguna itu kan konsumen mereka,” kata Rizal.
Dari sisi identitas pengguna (know your customer), menurut Rizal, SMS lebih aman dibandingkan dengan Whatsapp. Layanan SMS, operator telekomunikasi mengetahui identitas setiap penggunanya, bahkan nomor NIK-nya.
Rizal menyarankan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kemenkominfo untuk mengatur agar bank dan lembaga keuangan lainnya tidak menggunakan WhatsApp untuk mengirimkan autentikasi, notifikasi, dan promosi, untuk melindungi masyarakat.
“Modus kejahatan di WhatsApp ini jelas menyasar rekening tabungan dan dompet digital masyarakat. Saya pikir, sektor perbankan, jasa keuangan, dan enterprise pada umumnya wajib mengutamakan penggunaan SMS untuk autentikasi. Notifikasi dan promosi juga menggunakan SMS demi melindungi konsumen,” kata Rizal.