Bisnis.com, JAKARTA - Komisi atau biaya layanan yang dibayarkan driver ojek online, baik Grab maupun Gojek, menjadi pembicaraan setelah Gojek memangkas biaya komisi bagi driver di Singapura, dari yang awalnya 15 persen menjadi 10 persen.
Artinya, driver di negeri Singa membayar lebih murah ke aplikasi Gojek, dengan harapan mereka makin sejahtera.
Mengenai potongan tersebut, Rubi W Purnomo, Senior Vice President Corporate Affairs Gojek mengatakan besaran biaya layanan (komisi) Gojek atau dalam regulasi disebut sebagai biaya sewa penggunaan aplikasi oleh mitra driver, nominalnya bisa berbeda-beda tergantung kondisi serta situasi pasar di setiap negara.
Misalnya, ketersediaan mitra pengemudi dan juga tingkat permintaan konsumen. Jumlah mitra driver di Singapura tentu lebih sedikit dibandingkan dengan di Indonesia, pun dengan permintaan konsumen. Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara memiliki jumlah permitaan yang jauh lebih tinggi.
“Semuanya ditujukan untuk memastikan keandalan layanan kami di setiap wilayah kami beroperasi,” kata Rubi kepada Bisnis, Minggu (22/10/2023).
Adapun yang dilakukan Gojek di Singapura, kata Rubi, untuk memperkuat pasar dan memaksimalkan potensi bisnis di Singapura.
“Hal ini akan memperkuat posisi Gojek, serta sejalan dengan fokus Gojek untuk membangun bisnis yang kuat dan berkelanjutan di Singapura untuk jangka panjang,” kata Rubi.
Sementara itu untuk pasar Indonesia, kata Rubi, naik-turun biaya sewa penggunaan aplikasi maupun tarif, mengacu pada aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Keputusan Menteri Perhubungan No.1001/ 2022 mengatur mengenai hal tersebut.
Gojek tidak dapat serta merta menurunkan biaya komisi seperti yang terjadi di Singapura.
Sementara itu, pengamat ekonomi digital Ignatius Untung mengatakan kenaikkan dan penurunan komisi yang dibayarkan mitra akan berdampak pada konsumen dan perusahaan.
Jika Gojek memangkas komisi, maka pemasukan Gojek akan berkurang. Sementara itu, jika komisi dinaikkan bisa berdampak ke pelanggan, yang berujung ditinggalkannya layanan Gojek.
“Maka konsumen mereka bisa teriak, terus nanti ada saja yang satu enggak pakai lagi barang itu,” kata Untung.
Untung menilai pemotongan komisi merupakan hal yang sulit. Namun bukan berarti hal itu tidak bisa dilakukan. Terdapat proses panjang agar semuanya pihak diuntungkan baik pelanggan, driver, pemilik aplikasi hingga pemerintah.
Dia juga mengatakan pemotongan komisi dapat dilakukan di Indonesia. Namun, tidak seperti di Singapura, dengan jumlah driver yang sedikit.
“Kalau di Singapura itu kan karena konteksnya drivernya sedikit, tetapi kalau di sini kan drivernya banyak. Jadi apakah Gojek punya urgensi itu menurut saya itu hanya bisa dilakukan kalau dia ingin membesarkan market sharenya. Kalau dia ingin memperbesar pangsa pasar, terutama dari sisinya driver,” kata Untung.
Untuk memperbesar pasar melalui driver, lanjutnya, Gojek juga harus berhati-hati, karena ada ekspetasi driver saat masuk ke Gojek ataupun Grab, pendapatan mereka akan naik.
“Banyak banget orang sampai berhenti kerja. Sudah punya gaji berapa Rp7 juta itu berhenti kerja karena mendengar temannya atau saudaranya apa Grab karena narik ojol bisa dapat untung belasan juta,” kata Untung.
Sementara itu, Ketua Umum Idiec M. Tesar Sandikapura menyampaikan, saat ini Gojek dan Grab di Indonesia masih bersaing dan mengejar profit. Apalagi, masyarakat tengah mengurangi ketergantungan terhadap ojek online.
Dengan kondisi tersebut, menurutnya akan berat bagi Gojek untuk memangkas komisi driver ke perusahaan.
“Saya tidak yakin dengan hal itu,” kata Tesar.
Menurutnya, pemangkasan komisi yang dikumpulkan driver ke perusahaan berdampak ke arus kas. Akibatnya, perusahaan akan menjadi sulit untuk meraup profit dan menjaga pertumbuhan berkelanjutan.
Tesar juga menilai, sekarang sudah bukan zamannya untuk bakar duit. Pengurangan komisi yang diterapkan oleh Gojek Singapura, kata dia, persis seperti awal-awal Gojek dan Grab hadir di Indonesia.
Kala itu, perusahaan teknologi yang melayani angkutan melalui jasa ojek ini menarik komisi yang cukup rendah dari para driver. Namun sekarang, komisi yang ditarik oleh perusahaan tergolong tinggi, bahkan menetapkan target untuk mitra drivernya.
Meski menarik komisi yang cukup besar, Tesar melihat bahwa perusahaan-perusahaan ini masih cukup senang lantaran tidak banyak mitra driver yang beralih.
“Kecuali ada eksodus besar, baru bermasalah. Atau kalau mau, dia memberikan potongan ke user. Impactnya terasa langsung kalau misalnya tarifnya Rp10.000 terus turun jadi Rp6.000. Wah itu yang tadinya orang tidak mau naik Gojek gara-gara kemahalan kan bisa balik lagi,” imbuhnya.