Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengaku kesulitan untuk meregulasi Whatsapp Blast, pesan Whatsapp berantai seperti SMS Blast, karena bisnis platform over the top (OTT) disebut di luar kendali mereka.
Whatsapp Blast merupakan sebuah layanan seperti SMS Blast, yang berisi pesan tertentu, yang dikirm ke banyak nomor. Pesan tersebut biasanya berisi kegiatan pemasaran, promosi hingga verifikasi kode one time password (OTP) dari sebuah korporasi yang bekerja sama dengan Whatsapp.
Direktur Jenderal Penyelenggara Pos dan Informatika (Dirjen PPI) Kemenkominfo Wayan Toni Supriyanto mengatakan pihaknya sempat memanggil induk Whatsapp, Meta, mengenai pesan blast, yang memiliki fungsi seperti sms blast. Namun, pembahasan antara Meta dengan Kemenkominfo tak membuahkan hasil.
“Yang jelas kami tidak bisa membatasi mereka (Meta), justru yang kami rasa terganggu [dengan Whatsapp blast] adalah SMS blast. Makanya kami upayakan jangan sampai mereka mengganggu bisnis blastnya operator seluler. Karena ada hampir berapa triliun atau miliaran per tahun yang akan tergerus oleh Whatsapp blast,” kata Wayan, Selasa (19/9/2023).
Wayan mengatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran, Kemenkominfo sempat mewajibkan OTT untuk bekerja sama dengan operator telekomunikasi perihal pesan blast. Namun, OTT menolak. OTT, kata Wayan, ingin kerja sama dilakukan tanpa paksaan atau business to business (B2B).
“Itu B2B. Karena kami tidak bisa mengatur pihak sana (Meta)” kata Wayan.
Sebelumnya, Komisi VI DPR RI sempat meminta agar pemerintah mengatur bisnis OTT di Tanah Air karena berpeluang menghilangkan pendapatan negara.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VI dengan Kementerian BUMN Juni lalu, Anggota Komisi VI Andre Roside mengatakan OTT terus menghadirkan layanan yang berpotensi merugikan negara, sejalan dengan hilangnya pendapatan perusahaan telekomunikasi.
Seiring dengan perkembangannya, OTT terus mengeluarkan layanan yang mendisrupsi bisnis perusahaan telekomunikasi dalam negeri.
Andre mengatakan salah satu OTT yang mengancam bisnis operator telekomunikasi dalam negeri adalah Whatsapp. Perusahaan tersebut saat ini tidak hanya menawarkan layanan bagi pelanggan ritel, juga untuk segmen korporasi melalui Whatsapp Business Solution.
Andre menyesali kondisi ini mengingat OTT seperti Whatsapp tidak membangun infrastruktur telekomunikasi dan tidak memiliki kontribusi yang jelas bagi negara. Dia juga khawatir keamanan masyarakat Indonesia terancam ketika perusahaan-perusahaan di Indonesia, khususnya BUMN, memberikan one time password (OTP) melalui layanan OTT seperti Whatsapp.
Pasalnya, nomor Whatsapp, nomor ponsel dan orang yang menggunakan nomor tersebut dapat berbeda atau tidak dalam satu identitas yang sama.
Andre juga meminta agar OTT diregulasi dalam tiga hal. Pertama, regulasi pajak penghasilan (PPH) OTT, yang merupakan amanah Perpu 1/2020 pasal 6 ayat 2. Kedua, regulasi kualitas layanan OTT, yang dapat memastikan kualitas layanan yang diterima pengguna prima, mengingat OTT mengambil bandwith yang besar.
“Terakhir adalah regulasi kewajiban kerja sama dengan operator telekomunikasi,” kata Andre.