Bisnis.com, JAKARTA - Runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) pada minggu lalu diperkirakan menghambat pendanaan dan merusak bisnis perusahaan rintisan (startup). Namun, bukan di Indonesia, melainkan di Kanada.
Dilansir dari Reuters, Selasa (14/3/2023), bangkrutnya SVB ini juga menempatkan startup Kanada di tangan pemberi pinjaman domestik yang mungkin lebih selektif dalam mendanai usaha baru, demikian ungkap para pemodal kepada Reuters.
Hal ini pun menjadi kabar buruk bagi sektor teknologi yang sudah mengalami masa suram sejak 2022. Selain itu, investor diperkirakan akan lebih menghindari risiko dalam investasi tahap awal.
"Menurut saya, ini mungkin waktu terburuk yang mungkin terjadi dalam satu dekade terakhir karena kemunduran teknologi yang kita alami," ujar CEO INFOR Financial Neil Selfe.
Divisi SVB di Kanada, yang menerima lisensi untuk beroperasi pada 2019, bersaing dengan bank-bank lain dan pemberi pinjaman swasta untuk membantu membiayai pertumbuhan sektor teknologi Kanada, sebelum akhirnya bangkrut pada hari Jumat.
Perusahaan ini telah menggandakan pinjaman yang dijaminkan menjadi C$435 juta/ US$314 juta pada 2022 dari tahun sebelumnya.
Sebagaimana diketahui Kanada sendiri merupakan pusat teknologi global terbesar kedua di dunia setelah Silicon Valley. Berbeda dengan Kanada, Indonesia diperkirakan tidak akan terdampak runtuhnya SVB.
Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) mengatakan modal ventura (venture capital/VC) yang berbasis di Indonesia jarang berbisnis dengan Silicon Valley Bank (SVB)
Ketua Umum Amvesindo Eddi Danusaputro masih menhimpun data mengenai VC yang terafiliasi dengan SVB, tetapi indikasi awal adalah relatif sedikit VC di Indonesia yang berbisnis dengan SVB.
Selain itu pun, sedikit VC indonesia yang melakukan investasi terhadap perusahaan rintisan di Amerika Serikat (AS).