Bisnis.com, JAKARTA - AppsFlyer, perusahaan atribusi dan analitik pemasaran, menemukan bahwa aplikasi mobile di Indonesia mengalami kerugian hingga hampir Rp500 miliar akibat fraud pada semester II/2021.
Survei menemukan bahwa aplikasi keuangan menjadi jenis aplikasi yang mengalami dampak paling serius dibanding jenis aplikasi lainnya.
Senior Customer Success Manager APAC AppsFlyer Luthfi Anshari mengatakan temuan ini adalah hasil evaluasi lebih dari 2.000 aplikasi mobile di seluruh vertikal seperti Fintech, Gaming, Belanja, F&B, dan Hiburan, demi membantu pemasar aplikasi Indonesia memahami lebih baik tentang potensi risiko yang dapat mengancam aktivitas kampanye pemasaran dan periklanan mereka.
"Indonesia adalah salah satu dari dua negara dengan jumlah fraud iklan seluler [mobile ad fraud] tertinggi pada semester II/2021 di Asia Tenggara, setelah Vietnam, dengan jumlah kerugian mencapai hampir Rp500 miliar [setara US$34,1 juta]," ujarnya, Selasa (8/3/2022).
Bukan itu saja, Luthfi menyebut temuan lain dari riset AppsFlyer mengindikasikan bahwa aplikasi Fintech, terutama layanan keuangan, aplikasi pinjaman dan perbankan, memiliki rata-rata tingkat fraud tertinggi, dengan nilai risiko lebih dari Rp350 miliar (US$25 juta).
Menurut dia, dengan jumlah sekitar lebih dari 15 bank digital di Indonesia dan tingkat instalasi Aplikasi Keuangan tertinggi pada 2020, marketer aplikasi fintech dihadapkan pada peluang dan tantangan secara bersamaan.
"Transformasi digital yang cepat dari sektor industri keuangan mendorong lebih banyak pelaku fraud untuk memanfaatkan celah di ranah aplikasi Fintech, ditunjukkan oleh tingkat fraud serta risiko rata-rata yang lebih tinggi dari kategori aplikasi lainnya," ucapnya.
Sementara itu, sambung Luthfi, terkait jenis ad fraud, AppsFlyer mencatat bahwa taktik fraud yang paling banyak digunakan adalah distribusi bot (lebih dari 41 persen), yakni upaya untuk mensimulasikan klik iklan, instalasi, dan in-app engagement, serta menyamar sebagai pengguna yang sah, yang mampu menguras sumber daya iklan untuk pengguna palsu yang tidak memiliki nilai profit nyata.
Click flooding ini, lanjut dia, juga merupakan taktik yang sering dilakukan oleh pelaku fraud (sebesar 32 persen), yaitu mengirimkan sejumlah besar laporan klik palsu dengan tujuan mengambil keuntungan dari anggaran pemasaran aplikasi.
"Memasuki kuartal II/2022, penting bagi marketer aplikasi untuk menyadari risiko fraud pada kampanye dan anggaran iklan mereka. Memahami risiko fraud ini tentu akan membantu mereka memahami lebih baik dalam mengetahui dan mengatasi masalah tersebut," tutup Luthfi.