Author

Marizsa Herlina

Dosen Prodi Statistika Universitas Islam Bandung

Marisza memiliki minat yang sangat besar dengan data dan riset. Dia sempat bergabung menjadi tim riset untuk Bank Indonesia dan juga mengajar sebagai asisten dosen statistik di Institut Pertanian Bogor.

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Menyoroti Keamanan Data dalam Transaksi Online

Marizsa Herlina
Rabu, 29 September 2021 | 08:19 WIB
Ilustrasi perlindungan data pribadi saat belanja di toko online atau e-commerce/Freepik.com
Ilustrasi perlindungan data pribadi saat belanja di toko online atau e-commerce/Freepik.com
Bagikan

Keamanan data merupakan hal yang sangat krusial di tengah pesatnya perkembangan aktivitas digital saat ini. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi saja mengatakan bahwa pada 2020, digitalisasi di sektor perekonomian menyumbang 4% dari PDB dan diperkiran meningkat pesat menjadi 18,87% dari PDB pada 2030. Selain itu, transaksi jual beli yang terjadi di e-commerce pun kian meningkat dan diprediksi mencapai Rp1.900 triliun pada 2030.

Alhasil, pemerintah semestinya sudah mulai menyiapkan penanggulangan risiko dari perkembangan digitalisasi yang begitu masif. Selain dampak positif dari digitalisasi, ada efek negatif yang jarang dibahas oleh para pelaku, yakni keamanan data konsumen.

Secara tidak sadar, konsumen dapat dengan mudah memberikan data pribadi mereka untuk kelancaran bertransaksi online. Contoh, data nama lengkap, nomor gawai, alamat, nomor kartu debit/kredit dan sebagainya.

Data-data ini diserahkan ke penjual untuk menjalankan proses transaksi. Tentunya jika keamanan data tidak diperhatikan, penjual dapat dengan mudah menyalahgunakannya demi keuntungan pribadi. Misalnya, untuk melakukan transaksi pribadi mereka, menjual data ke pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab dan masih banyak kasus lainnya yang bisa merugikan.

Contohnya, tidak jarang kita mendengar kasus penipuan yang terjadi secara online melalui telepon akibat bocornya data pribadi yang tidak bertanggung jawab.

Seperti saat ini marak kasus peminjaman online melalui aplikasi di smartphone atau yang disebut fintech lending. Anggota keluarga, teman, kerabat dari korban yang tidak bisa membayar pinjaman online (pinjol) dengan bunga yang tidak masuk akal pun terkena imbasnya. Mereka dihubungi untuk melunasi utang si korban dengan cara tidak sopan. Tentu ini mengakibatkan sanksi sosial si korban dari orang-orang sekitarnya.

Kebanyakan sasaran pinjol ilegal ini adalah masyarakat dengan literasi keuangan dan digital rendah. Mereka tidak bisa membedakan mana pinjaman legal dan ilegal. Kebanyakan tergiur dengan mudahnya mendapatkan uang dengan hanya sekedar ‘klik’ di smartphone.

Selain pinjaman dengan bunga dan fee yang tidak masuk akal, pinjol ini juga mencuri data di smartphone peminjam untuk mengancam korban. Mereka tak beda dengan lintah darat online.

Oleh karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan untuk menjaga setiap transaksi online agar tidak terjadi penipuan, pencurian dan kebocoran data, sehingga konsumen di era digital dapat terlidungi.

Salah satu yang sudah dilakukan untuk mengatasi pinjol adalah perizinan untuk penyelenggara fintech lending yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan. Apabila masyarakat ingin mengetahui aplikasi pinjol legal atau tidak, bisa memeriksa izinnya terlebih dulu.

Namun, permasalahan pinjol hanya sebagian kecil dari ekonomi digital yang lingkupnya begitu besar. Pemantauan pemerintah tidak bisa berhenti pada fintech yang baru menjamur, tetapi juga besarnya transaksi jual beli online di e-commerce.

Menurut data proyeksi Bank Indonesia, pada 2021 transaksi e-commerce dapat menembus Rp337 triliun. Transaksi online sebesar ini tentunya melibatkan jutaan konsumen dan sudah semestinya dipantau pemerintah agar tidak terjadi kekacauan dan pada saat yang sama ada penanggulangan risiko ketika terjadi kegagalan dalam sistem pembayaran.

Dalam kaitan itu bank sentral sudah meluncurkan Standar Nasional Open API atau SNAP. SNAP merupakan standardisasi API bagi seluruh penyelenggara sistem pembayaran online yang beroperasi di Indonesia, termasuk bank, fintech, marketplace, dan e-commerce.

Dengan demikian, semua data transaksi online di penyelenggara dapat terintegrasi dengan mudah dan perlindungan konsumen yang semakin terjaga. Semua transaksi online dapat dipantau dan harus mengikuti standar dari pemerintah, yang salah satunya mencakup kerahasiaan data dan persetujuan dari konsumen.

Sebelum, sulit bagi pemerintah untuk memantau seluruh transaksi online secara langsung karena sistem pembayaran setiap e-commerce atau marketplace berbeda-beda. Pemantauan langsung tidak bisa dilakukan kecuali melalui bank yang terkait dengan e-commerce tersebut. Setelah SNAP dijalankan maka bukan tidak mungkin bahwa seluruh transaksi online yang terjadi di e-commerce dapat dipantau oleh pemerintah.

Keuntungan lainnya adalah transparasi data transaksi ekonomi digital di Indonesia. Hal ini tentunya akan mengurangi berbagai kecurangan yang terjadi pada saat transaksi online. Salah satunya adalah mengurangi risiko shadow banking yang merupakan kegiatan keuangan yang terjadi di luar peraturan sistem perbankan.

Dengan adanya kebijakan tersebut, pemerintah kini telah menyiapkan penanganan risiko dari ekonomi digital, sehingga konsumen pun bisa bertransaksi dengan aman dan nyaman. Dengan meningkatnya perlindungan konsumen dalam ekonomi digital, perkembangan ekonomi digital diharapkan akan semakin terakselerasi dengan baik di Tanah Air.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper