Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat telekomunikasi menilai pita frekuensi 26-28 GHz memiliki spektrum frekuensi yang berlimpah. Dengan spektrum yang banyak itu, seharusnya frekuensi diberikan melalui skema beauty contest saja.
Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Ridwan Effendi mengatakan pita 26-28 GHz memiliki spektrum dengan total 2000MHz.
Dengan spektrum yang sangat besar itu, semua operator memiliki peluang untuk mendapatkan frekuensi. Dia mengusulkan agar Kemenkominfo menggelar beauty contest untuk menentukan operator yang berhak beroperasi di sana.
“Membuat beauty contest lebih baik karena mencari opsi siapa yang paling baik rencananya di pita tersebut,” kata Ridwan, Senin (28/6/2021).
Sekadar informasi, beauty contest merupakan salah satu cara seleksi untuk menentukan operator yang berhak mendapat frekuensi. Berbeda dengan skema lelang penawaran, yang bergantung pada penawaran harga tertinggi, dengan skema beauty contest, operator akan mengajukan proposal tentang rencana mereka dalam memanfaatkan pita tersebut.
Kemudian, Kemenkominfo akan memilih secara transparan, operator mana yang memiliki rencana paling ‘cantik’ ketika mendapat tambahan frekuensi tersebut.
Adapun mengenai tantangan dalam menggunakan pita 26-28 GHz, kata mantan anggota BRTI periode 2009-2015 itu, adalah cakupannya yang pendek hanya 200 meteran. Dibandingkan dengan frekuensi 900 Mhz yang cakupannya bisa mencapai 13 km, frekuensi 26-28 GHz sangat jauh.
Dibutuhkan lebih dari 50 pemancar di pita 26-28 GHz, untuk mengimbangi 1 cakupan pemancar yang menggunakan pita frekuensi 900MHz. Meski demikian, operator seluler diyakini tetap akan tertarik menggunakan pita tersebut.
“26-28 GHz cocok untuk aplikasi 5G untuk fixed wireless, seperti untuk layanan TV internet,” kata Ridwan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan skema beauty contest dihadirkan untuk menjawab kebutuhan jaringan dan layanan yang lebih besar daripada soal nilai yang didapat dari lelang.
Melalui skema tersebut akan didapat pemenang yang berkomitmen memanfaatkan frekuensi secara maksimal. Sementara untuk lelang, maka pendapatan bagi negara yang menjadi prioritas.
Di antara kedua sistem tersebut, kata Heru, terdapat sistem hybrid. Di mana ada komitmen pembangunan yang diwajibkan pada pemenang, dan ada hasil lelang yang dapat diterima negara
Skema hybrid bisa diterapkan pada pita 26-28 GHz, sehingga kalaupun pendapatan tidak maksimal atau lebih rendah, maka komitmen pembangunan bisa dimaksimalkan.
“Khususnya untuk pembangunan 5G di wilayah seperti kawasan tertinggal, terluar dan terdepan (3T), Papua, dan perdesaan lainnya,” kata Heru.
Adapun mengenai menguntungkan atau tidak inventasi spektrum di 26-28 GHz, kata Heru, perlu diuji di lapangan. Perlu dipelajari juga kasus pemanfaatan dan permintaan dengan menggunakan pita tersebut.
Heru mengatakan pita milimeterWave 26-28GHz berbeda dengan frekuensi selular atau fixed wireless yang permintannya sudah ada.
“Jika tidak ada peminatnya maka saya saran dikelola BAKTI saja untuk dimanfaatkan mengembangkan jaringan internet di wilayah 3T dan pemenuhan 12.500 desa yang belum mendapat internet,” kata mantan anggota BRTI periode 2006-2012 itu.