Bisnis.com, JAKARTA – Fungsi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) diyakini akan kembali ketika era sebelum telekomunikasi dan internet dikompetisikan.
Dominasi Kemenkominfo dapat menjadi bumerang, seandainya tidak dapat bersikap adil dalam menjadi wasit telekomunikasi.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai bahwa peran Kemenkominfo ke depan akan makin dominan di dalam industri telekomunikasi. Sayangnya, peran dominan tersebut hadir dengan sudut pandang yang makin sempit seiring dibubarkannya BRTI.
Dengan dominasi yang dimilikinya sekarang, dia khawatir investor dunia yang telah dan akan berinvestasi di industri telekomunikasi akan mundur dan kabur.
Hal tersebut disebabkan oleh keraguan akan hadrinya kompetisi yang adil dan transparan. Hal ini menjadi tantangan terberat bagi Kemekominfo dalam menjaga industri telekomunikasi.
“Kalau kembali ke era sebelum telekomunikasi dan internet dikompetisikan, investor sulit percaya dan diyakini perlahan akan hengkang dari Republik Indonesia,” kata Heru kepada Bisnis, Sabtu (6/12/2020).
Sekadar catatan, industri telekomuikasi saat ini diwarnai oleh banyak investor asing a.l, Singapore Telecommunication (Singtel) memegang 35 persen saham di Telkomsel, Ooredoo Asia Pte.Ltd mengusai 65 persen saham di Indosat, Axiata menguasai 65 persen saham di XL Axiat,a dan Hutchison Asia Telecom memegang 66 persen saham di 3 Indonesia.
Heru menambahkan memasuki industri yang kompetitif, seharusnya kehadiran badan regulasi yang independen semakin penting dan harus diperkuat.
Uni Telekomunikasi Intenasional (ITU), kata Heru, mendorong terbentuknya regulator yang independen di semua negara untuk menjamin transparansi, independensi, dan keadilan dalam industri telekomunikasi dan internet.
Baca Juga BRTI Dibubarkan, Ada Badan Baru Lagi? |
---|
Singapura memiliki Infocomm Development Authority (IDA), Brunei memiliki Authority for Info-communications Technology Industry (AITI), dan lain sebagainya. Meski demikian, tidak semua negara membangun badan regulasi independen yang terpisah dengan negara.
Jepang merupakan salah satu negara yang tidak memiliki badan regulasi independen, sama seperti Indonesia. Meski demikian, kata Heru, secara budaya dan kondisi di Jepang berbeda dengan di Indonesia.
Peraturan yang diterapkan di Jepang dinilainya adil dan transparan. Salah satunya perihal pembukaan akses internet ke rumah untuk semua penyelenggara telekomunikasi.
“Sementara di kita, ada BRTI saja berat, dan apalagi pemerintah sendiri dalam mengatur anaknya sendiri yang berbisnis telekomunikasi. Membuka interkoneksi itu perjuangannya tidak mudah,” kata Heru.
Dia menjelasan salah satu pilar kompetisi adalah interkoneksi. Membuka interkoneksi agar operator telekomunikasi saling terhubung membutuhkan proses yang panjang dan tidak semua pemain telekomunikasi bersedia melakukan hal tersebut.
Selain itu, badan regulasi independen juga memiliki pengaruh dalam pengaturan tarif layanan operator seluler sehingga harga yang dihadiran kepada pelanggan makin terjangkau. Pada 2006 misalnya, harga layanan SMS mencapai Rp250-Rp300 per SMS. Layanan panggilan suara Rp1.600 per menit.
BRTI menurunkan harga tersebut meningkat hingga menjadi Rp600 per menit pada 2010. Menurut Heru, seandainya saat itu BRTI tidak hadir, harga layanan telekomunikasi diperkirakan akan makin tinggi.
“Ini yang didorong BRTI agar tarif lebih terjangkau dan murah ke masyarakat,” kata Heru.