Bisnis.com, JAKARTA – Pelanggan yang dimiliki oleh operator seluler belum menunjukkan angka sebenarnya. Tren keluar-masuk pelanggan membuat operator kesulitan dalam mendata pelanggan berkualitas sehingga perlu dilakukan pembersihan data pelanggan.
Analisis Kresna Sekuritas Etta Rusdiana mengatakan tingkat keluar masuk (churn rate) pelanggan seluler di Indonesia masih tinggi karena kemudahan pelanggan dalam mendapat kartu perdana.
Di samping itu, harga kartu perdana yang murah dengan keuntungan bonus kuota melimpah, membuat masyarakat ketagihan akan kartu perdana baru.
Padahal tingginya tingkat churn rate membuat operator seluler kesulitan dalam mendapat data pelanggan yang tepat. Kualitas pelanggan pun tidak optimal, karena pemakaian nomor hanya berlangsung secara singkat.
Etta menuturkan untuk mendapatkan data pelanggan yang pasti dan berkualitas, operator seluler pun melakukan pembersihan data yang berdampak pada menurunnya jumlah pelanggan.
“Jadi pembersihan database menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi [penurunan jumlah pelanggan],” kata Etta, Selasa (18/8/2020).
Sekedar catatan, PT Telekomunikasi Selular mencatatkan penurunan jumlah pelanggan secara tahunan dan semester.
Laporan info memo Telkom menyebutkan bahwa ada penurunan 1,50 persen atau setara dengan 2,49 juta pelanggan pada kuartal II/2020 dibandingkan dengan kuartal I/2020. Pada periode ini Telkomsel memiliki 160,07 juta pelanggan.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, jumlahnya turun sekitar 4,60 persen atau sekitar 7,72 juta pelanggan, Pada kuartal I/2019 jumlah pelanggan Telkomsel mencapai 167,79 juta pelanggan.
Telkomsel berkelit penurunan jumlah pelanggan yang terjadi pada kuartal II/2020 disebabkan oleh strategi perseroan yang sedang fokus dalam mendata pelanggan berkualitas dengan melakukan pembersihan data sebagai dampak penguatan dalam kebijakan regristrasi kartu prabayar.
Regulasi Longgar
Etta menambahkan faktor lain yang membuat tingkat churn rate tinggi adalah longgarnya regulasi mengenai sistem regulasi kartu prabayar.
Etta mengatakan seharusnya pemerintah memperketat regulasi kepemilikan kartu perdana bagi masyarakat dengan memberi biaya atas penghapusan nomor, sehingga masyarakat berpikir ulang ketika ingin mengganti nomor.
Cara lainnya adalah dengan membatasi kepemilikan kartu perdana dari 15 nomor per orang, menjadi tiga nomor per orang. Dia mempertanyakan jumlah besar kepemilikan nomor bagi tiap orang.
“Perpindahan pelanggan membuat biaya pengadaan sim card dan beban pemasaran. Ini biaya yang seharusnya minimal, karena tanpa iklan pun, orang tetap butuh operator terbaik di lokasinya,” kata Etta.
“Kalau operator sampai menghapus jutaan nomor, artinya selama 4 tahun ini belum ada perubahan yang signifikan dari tata niaga,” sambungnya.