Menimbang Manfaat & Mudarat Bisnis MVNO

Leo Dwi Jatmiko
Kamis, 21 November 2019 | 15:54 WIB
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Pada 2016, Circle.Life, sebuah operator jaringan virtual seluler atau yang yang biasa dikenal mobile virtual network operator (MVNO), muncul di Singapura.

Circle.Life memanfaatkan jaringan milik M1 untuk memberikan layanan kepada masyarakat Singapura.

Circle.Life menawarkan jasa layanan data, suara dan SMS kepada warga Singapura melalui aplikasi berbasis komputasi awan.

Aplikasi ini menggunakan teknologi Circles-X, yang diyakini dapat memangkas biaya pemasaran, sehingga harga yang ditawarkan kepada konsumen lebih murah dibandingan dengan biaya pemasaran layanan nonaplikasi. 

Circle.Life mengeluarkan harga layanan paket murah, seharga US$5 atau setara dengan Rp51.600 untuk layanan data sebanyak 2 GB, waktu bicara 50 menit, dan 25 SMS dengan pemakaian selama 30 hari. Dengan opsi penambahan layanan data seharga S$8 untuk 1 GB, dan S$12 untuk 2GB.  

Circle.Life menjelaskan paket murah tersebut bertujuan untuk mengakomodasi 20% pengguna mereka  yang mengonsumsi 2GB data sebulan. Layanan paket murah itu pun mendorong operator seluler lainnya di Singapura untuk memasarkan paket layanan yang serupa, agar pelanggan mereka tidak lari ke Circle.Life.

Beberapa analis di Singapura pun menanggapi strategi tersebut dengan beragam. Ada yang menilai bahwa langkah yang diambil Circle.Life merupakan strategi pemasaran jangka pendek, sehingga tidak akan berdampak besar pada industri.

Ada juga yang beranggapan bahwa strategi tersebut merusak harga layanan telekomunikasi di pasar. Tarif murah yang ditawarkan akan mendorong operator telekomunikasi lainnya untuk banting harga.

Saat ini harga rata-rata data di Singapura sebesar S$4 atau setara dengan Rp41.200 per GB. Tanpa tarif murah pun, harga tersebut diprediksi bakal menurun seiring dengan meningkatnya penggunaan data di Singapura.

Terlepas dari itu semua, Circle.Life berhasil dalam meraup pelanggan dan mengembangkan bisnis mereka di Singapura. Bahkan, beberapa orang menyebut Circle.Life lebih besar dibandingkan dengan M1 sebagai perusaahan yang menyewakan jaringan.

Lalu apa kaitannya dengan Indonesia?

Di Indonesia pun terjadi hal serupa. Berbagai pihak memiliki perbedaan pandangan mengenai kehadiran MVNO. Ada yang menganggap MVNO sebagai ancaman, ada juga yang menganggap sebagai peluang bisnis.

Melihat metode pemasaran yang dilakukan oleh Circle.Life, terlihat di sana bahwa MVNO dapat membuat penetrasi layanan data ke masyarakat lebih cepat.

Dengan kondisi Indonesia yang begitu luas dan kapasitas operator seluler yang saat ini masih kosong, hadirnya MVNO sebagai reseller dapat membantu pemasaran.

Berdasarkan laporan info memo Indosat dan XL Axiata, pada kuartal III/2019, masing-masing operator mencatatkan 58,8 juta dan 55,5 juta pelanggan. Jumlah tersebut hanya sepertiga dari total pelanggan Telkomsel yang berjumlah sekitar 170 juta pelanggan.

Dari sisi frekuensi yang dikantongi, perbandingan ketiganya tidak jauh berbeda. Artinya, masih banyak kapasitas yang bisa dipakai.  

MVNO juga dapat menekan harga layanan, sehingga masyarakat mendapatkan tarif yang lebih murah dengan layanan optimal. Dari sisi bisnis, jelas MVNO menguntungkan operator nondominan. 

KONSEKUENSI BISNIS

Meski demikian ada konsekuensi bisnis jika MVNO beroperasi di Indonesia, yaitu persaingan harga layanan data yang makin murah ke depannya. Kenyataannya, saat ini saja, harga yang beredar sudah sangat murah.

Wakil Direktur Utama PT Hutchison 3 Indonesia Danny Buldansyah mengatakan perang tarif yang terjadi membuat pelanggan 3 Indonesia keluar-masuk, sehingga pertumbuhan pelanggan 3 Indonesia pada kuartal III/2019 stagnan, jika dibandingkan dengan kuartan II/2019. Jumlah pelanggan 3 Indonesia bertahan di angka 38 juta pelanggan.

Konsekuensi lainnya adalah industri telekomunikasi yang makin gemuk. Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia (persero) Tbk. Ririek Adriansyah mengatakan bahwa hadirnya MVNO kontradiktif dengan semangat Kemenkominfo yang ingin merampingkan industri telekomunikasi melalui konsolidasi.

Adapun, dari sisi hukum, pasar 9 dari UU No.36/1999 tentang Telekomunikasi menyebutkan penyelenggara jasa telekomunikasi dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.

Artinya, perusahaan yang ingin menyelenggarakan jasa telekomunikasi seperti layanan suara, sms dan data, maka harus memiliki jaringan telekomunikasi. Jika perusahaan tersebut memiliki uang banyak, maka perusahaan akan membangun jaringan sendiri untuk menjual jasa.

Namun, jika keungan mereka terbatas, perusahaan dipastikan menyewa jaringan kepada operator yang memiliki.

Sayangnya, UU Telekomunikasi tidak menjelaskan secara rinci mengenai konsep menyewa jaringan. Akibatnya, paradigma yang terbentuk saat ini, penyewaan jaringan yang diperbolehkan adalah penyewaan jaringan pasif seperti jaringan tulang punggung, backhaul, serat optik.

Sementara itu, penyewaan jaringan aktif seperti spektrum dan jaringan inti tidak diperkenankan karena itu merupakan sumber daya alam terbatas dan harus memiliki tidak boleh menyewa.    

Perdebatan hukum selanjutnya terdapat pada Peraturan Menteri Kominfo No.13/2019 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomiunikasi. Di sana ditegaskan bahwa MVNO tidak dapat menyelenggarakan jasa teleponi dasar, yaitu layanan teleponi, SMS dan MMS.

Regulasi tersebut menyebut bahwa perusahaan yang dapat menyelenggarakan jasa teleponi  dasar, hanyalah perusahaan yang memiliki jaringan. Artinya, MVNO tidak bisa beroperasi karena tidak memiliki jaringan di Indonesia.   

 “[MVNO] secara konsep jadi tertutup [untuk masuk]. Di dalam PM Jastel penyelenggara jasa telponi dasar atau multimedia yang tadinya bisa berdiri sendiri menggunakan jaringan penyelenggara jaringan, sekarang tidak bisa lagi, hanya penyelenggara jaringan yang bisa menyelenggarakan jasa telponi,” kata Komisioner BRTI I Ketut Prihadi.  

Prihadi menjelaskan dengan ditutupnya jasa teleponi dasar maka MVNO yang ingin berjualan tidak akan bisa memiliki nomor MSISDN (Mobile Subscriber Integrated Services Digital Network Number) atau lebih dikenal dengan nomor gawai.

Itu artinya MVNO tidak memiliki barang dagangan yang ditawarkan kepada pelanggan nantinya, sehingga menutup peluang MVNO untuk berjualan jasa layanan tambahan teleponi dan jasa multimedia yang meliputi Layanan Akses Internet (ISP), Layanan Gerbang Akses Internet (NAP), Layanan Sistem Komunikasi Data; dan/atauLayanan Interner Protocol TV (IPTV) masih terbuka bagi MNVO. 

Meski demikian PM Jasa Telekomunikasi bukanlah akhir dari MVNO di Indonessia. Sebab, jika pemerintah merevisi UU Telekomunikasi dan memperjelas konsep penyewaan jaringan, maka PM Jasa Telekomunikasi pun kemungkinan akan direvisi agar tidak bertentangan.

Peluang untuk revisi UU Telekomunikasi pun sangat terbuka mengingat teknologi yang ada saat ini sudah sangat jauh berkembang dan frekuensi operator masih sangat kosong. 

Impelmentasi MVNO itu seperti berjualan buah mangga dengan bantuan tetangga, di satu sisi bantuan tetangga membuat produk cepat habis, dan mengurangi kerugian.

Namun, di lain sisi, tetangga juga merusak ekosistem, karena mereka berjualan dengan harga murah. Solusinya tinggalkan atau atur cara mainnya, agar masing-masing pihak diuntungkan.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper