Peluang MVNO Berbisnis di Indonesia Tertutup

Leo Dwi Jatmiko
Rabu, 6 November 2019 | 08:08 WIB
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA  - Badan Regulasi Telekomunukasi Indonesia memastikan bahwa Mobile Virtual Network Operator (MVNO) tidak dapat menggelar jasa telponi dasar di Indonesia seiring dengan hadirnya Peraturan Menteri Kominfo No.13/2019 tentang Penyelenggara Jasa Telekomunikasi.

MVNO adalah penyelenggara jasa layanan bergerak (seluler atau fixed wireless access) yang menyewa atau memakai spektrum frekuensi milik operator lewat perjanjian bisnis. MVNO berperan sebagai reseller dari operator seluler.

Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), I Ketut Prihadi Kresna mengatakan dalam PM yang disahkan pada Oktober lalu, disebutkan bahwa  penyelenggara jasa telekomunikasi meliputi Penyelenggara Jasa Telponi Dasar, Penyelenggara Jasa Nilai Tambah Telpon dan Penyelenggara Jasa Multimedia.

Dia menjelaskan bahwa perusahaan yang dapat menyelenggarakan jasa telponi dasar, hanyalah perusahaan yang memiliki jaringan. Artinya MVNO tidak bisa beroperasi karena tidak memiliki jaringan di Indonesia.   

MVNO juga tidak disebutkan sebagai perusahaan yang dapat menggelar penyelenggaraan jasa telekomunikasi di peraturan tersebut.

Prihadi mengatakan salah satu alasan MVNO tidak masuk ke dalam regulasi tersebut, karena mempertimbangkan kondisi industri telekomunikasi yang saat ini masih kurang bergairah.  

Dia mengatakan operator seluler khawatir jika MVNO dibuka membuat persaingan makin ketat sedangkan operator yang ada saat ini belum berkembang dan peluang mendapat untung makin kecil.

“[MVNO] secara konsep jadi tertutup [untuk masuk]. Di dalam PM Jastel penyelenggara jasa telponi dasar atau multimedia yang tadinya bisa berdiri sendiri menggunakan jaringan penyelenggara jaringan, sekarang tidak bisa lagi, hanya penyelenggara jaringan yang bisa menyelenggarakan jasa telponi,” kata Prihadi kepada Bisnis.com, Selasa (5/11/2019).  

Prihadi juga mengatakan bahwa selain tidak tercantum di PM Jasa Telekomunikasi, MVNO juga tidak akan masuk pada peraturan menteri mengenai over the top (OTT) yang saat ini juga tengah dikaji.

Dia berpendapat bahwa MVNO dan OTT berbeda. OTT tidak perlu meminta izin kepada penyelenggara jaringan untuk beroperasi, sebab OTT berada di komputasi awan atau cloud di alam internet, misalnya aplikasi Whatsapp.

“Kalau MVNO penyelenggara jasa yang menyewa kapasitas jaringan penyelenggara seluler. Jadi ada perjanjian,” kata Prihadi.  

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah mengapresiasi langkah yang diambil oleh Kemenkominfo mengenai pembatasan MVNO.

Dia mengatakan dengan kondisi industri yang seperti sekarang ini maka salah satu upaya untuk memperbaiki adalah dengan mendorong konsolidasi operator, sehingga jumlah operator yang beroperasi di Indonesia berkurang dan persaingan akan lebih rasional.

“Jika ada MVNO maka justru akan menambah pemain dan bertentangan dengan rencana konsolidasi,” kata Ririek.  

Adapun Wakil Direktur Utama PT Hutchison 3 Indonesia Danny Buldansyah mengatakan bahwa pembatasan jumlah MNVO baik bagi pertumbuhan industri telekomunikasi.

Dia mengatakan dengan jumlah pemain yang ada saat ini, persaingan yang terjadi sudah sangat ketat.  

“Karena ada beberapa kasus di beberapa negara yang tadinya persaingan industri sudah gila-gilaan makin menggila [ada MVNO]. Kita kan soal perang tarif juga masih terjadi sekarang,” kata Danny.  

Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi berpendapat untuk jasa teleponi dasar, seperti SLI, SLJJ dan lain-lain memang dikhususkan untuk penyelenggara jaringan saja, tetapi untuk keperluan non-telponi dasar, seperti multimedia dan jasa nilai tambah telponi, MVNO masih memungkinkan.

Dalam dokumen PM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi yang baru keluar, Heru tidak melihat peluang MVNO.

Dia mengatakan idealnya Kemenkominfo membuat aturan baru yang juga memperhatikan perkembangan teknologi dan bisnis baru. Saat ini, menurutnya, MVNO masih terganjal oleh Peraturan Pemerintah no.52 /2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP no.53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit

“Saran saya pada Menkominfo yang baru, percepat juga revisi UU Telekomunikasi No.36/1999 yang sudah ketinggalan jaman karena perkembangan teknologi yang kian pesat. Dengan UU baru, ini diharapkan perkembangan teknologi, bisnis dan pelaku usaha baru dapat diadopsi guna mendukung pemanfaatan telekomunikasi untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat,” kata Heru.

Permudah Izin

Selain menutup peluang MVNO, Peraturan Menteri Kominfo No.13/2019 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi juga membuat proses perizinan menjadi lebih sederhana.

Jika dahulu operator ingin beroperasi, maka harus memiliki izin multimedia, izin penyedia layanan internet, dan lain-lain. Namun, dengan adanya regulasi ini, maka operator tidak perlu memiliki izin-izin tersebut.

Dengan regulasi tersebut operator dapat menggelar layanan baru tanpa harus memiliki izin baru juga, Kedua, Internet Protokol TV (IPTV) yang semula harus memiliki izin telekomunikasi dan penyiaran, sekarang masuk menjadi izin multimedia saja.

Pada PM ini tidak diatur mengenai tarif jasa telekomunikasi. Tarif akan di buat terpisah dengan regulasi baru yang saat ini akan disosialisasikan kepada operator telekomunikasi.    

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper