Bisnis.com, JAKARTA — Di tengah permintaan yang tinggi terhadap teknologi keamanan karena pesatnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah, Indonesia ternyata harus mengimpor peralatan hardware security dalam jumlah besar karena jumlah produsen lokal untuk teknologi tersebut sangat terbatas.
Seperti misalnya pembangunan mass rapid transit (MRT) dan light rail transit (LRT), proyek tersebut dikatakan telah menstimulasi permintaan terhadap teknologi video pengawas. Adapun, potensi pasar di area infrastruktur diperkirakan mencapai US$200 juta.
Ketua Umum Asosiasi Industri Sistem Keamanan Indonesia (AISKINDO), Stefanus Ronald Juanto, menilai dalam kondisi seperti ini dukungan pemerintah sangat diperlukan agar produsen peralatan hardware security lokal mampu bersaing dengan produsen asing.
"Harus ada support pemerintah. Kita susah bersaing dengan China dan Malaysia karena produsen mereka mendapat subsidi dari pemerintah, sehingga kita tidak bisa bersaing secara harga," ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (2/9/2019).
Dia menjelaskan, dukungan yang diberikan oleh pemerintah China dan Malaysia kepada produsen lokalnya dilakukan melalui 2 cara, yakni penanaman saham di perusahaan-perusahaan hardware security lokal serta pemberian insentif untuk biaya operasional pembangunan pabrik sistem keamanan.
Aiskindo sendiri tahun depan akan memfokuskan diri untuk mendorong pemerintah agar memberikan dukungan terhadap produsen-produsen lokal.
Tahun ini, asosiasi akan berfokus kepada pembangunan sumber daya manusia melalui program edukasi yang mengajarkan produsen lokal untuk menjual peralatan-peralatan berkualitas dan sesuai dengan jenis ancaman.
"Kita punya sertifikasi mengenai edukasi keamanan, bagaimana menjual alat video surveillance, alarm, dan akses kontrol sesuai dengan standar prosedur," lanjutnya.
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC), Pratama Persadha, menilai maraknya penggunaan teknologi keamanan luar negeri di Indonesia juga tidak terlepas dari anggapan bahwa produk dalam negeri belum mampu memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan.
Dia melanjutkan, apabila industri pertahanan dan keamanan dalam negeri belum siap memenuhi kebutuhan, maka untuk memutus rantai impor produk pengamanan dari luar negeri akan sulit dilakukan.
"Ini tentu perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan industri pertahanan dan keamanan dalam dalam negeri. Tidak ada pilihan bagi Indonesia jika ingin menjadi negara berdaulat kecuali dengan mengembangkan teknologi keamanan sendiri," ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (2/9/2019).
Pratama mengatakan pemerintah perlu fokus mengarahkan industri pertahanan dan keamanan nasional ke teknologi yang lebih cepat dikuasai dan terjangkau. Selain itu, pengawasan dan standardisasi produk pertahanan dan keamanan impor perlu dilakukan pemerintah, tidak hanya terhadap faktor kualitas, tetapi juga faktor keamanan produk.
"Produk harus dipastikan benar-benar aman saat nantinya digunakan. Apalagi dalam hal ini kamera pengawas yang dapat dipantau secara online. Jangan sampai produk yang kita gunakan nantinya dapat di-remote oleh produsen asing ataupun pihak lainnya," ujarnya.
Lebih jauh, pemerintah dapat menggandeng pihak luar dengan menerapkan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), seperti diterapkan terhadap produk ponsel pintar, serta menyiapkan SDM yang handal dan mumpuni di bidang teknologi keamanan.
Sementara itu, Senior Research Manager, Head of Operation & Consulting IDC, Mevira Munidra, menilai meningkatnya permintaan terhadap peralatan teknologi keamanan di Indonesia tidak akan terlalu bermasalah selama distribusi dari pemasok masih tercukupi.
"Selama distribusi peralatan dari tercukupi, akan mudah procure-nya ke depan," ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (2/9/2019).
IDC, yang memperkirakan belanja IT Indonesia pada 2019 mencapai Rp465 triliun, justru menilai tantangan utama yang dihadapi sektor teknologi keamanan Indonesia adalah terbatasnya jumlah tenaga ahli.