Bisnis.com, JAKARTA — Peluang bisnis MVNO di Indonesia diragukan. Alasannya, margin keuntungan operator telekomunikasi di Indonesia terlalu kecil untuk diisi oleh reseller.
Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) Ririek Adriansyah mempertanyakan rencana Kemenkominfo yang menyertakan aturan tentang MVNO ke dalam regulasi over-the-top.
Dia berpendapat bahwa MVNO bukan termasuk dari kelompok bisnis over-the-top (OTT).
“Saya juga tidak tahu kenapa itu dimasukkan ke OTT karena menurut saya MVNO itu tidak masuk kelompok OTT,” kata Ririek.
Ririek menilai kondisi pasar di Indonesia saat ini tidak memungkinkan untuk MVNO beroperasi disebabkan persaingan harga layanan di Indonesia yang terlalu rendah.
“Pricing-nya terlalu rendah dan marginnya tipis atau malah negatif, dengan kondisi tersebut maka MVNO tidak akan bisa hidup,” kata Ririek kepada Bisnis.
Disamping itu, sambungnya, kehadiran MVNO juga akan menambah jumlah pemain dan persaingan yang ada. Hal tersebut bertentangan dengan semangat konsolidasi yang diyakini menjadi salah satu cara untuk memperbaiki industri telekomunikasi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan aturan tentang Mobile Virtual Network Operator (MVNO) akan disertakan ke dalam regulasi OTT.
MVNO adalah penyelenggara jasa layanan bergerak (seluler atau fixed wireless access) yang menyewa atau memakai spektrum frekuensi milik operator lewat perjanjian bisnis.
Baca Juga Pita Frekuensi 4.9G Jadi Masalah |
---|
MVNO berperan sebagai reseller dari operator seluler. Perusahaan dengan model bisnis MVNO bisa membangun infrastrukturnya sendiri atau menggunakan infrastruktur milik operator, sesuai dengan teknologi dan izin penggunaan frekuensi milik operator.
Dirjen Penyelenggara Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo, Ahmad M. Ramli mengatakan bahwa pihaknya berencana mengatur MVNO dalam RPM OTT bukan RPM Jasa Telekomunikasi.
Dia menjelaskan hal tersebut bertujuan agar regulasi mengenai RPM Jasa Telekomunikasi dapat segera keluar tanpa harus menunggu peraturan mengenai MVNO yang masih dalam tahap pembahasan.
“Kami sedang pikirkan apakah regulasi tersebut masuk ke PM Jasa Telekomunikasi atau OTT, kalau formulanya masih membutuhkan kajian lebih dalam, sebaiknya [menurut kami] geser ke OTT sehingga PM jasa bisa keluar [lebih dahulu] dan OTT bisa menyusul kemudian,” kata Ramli kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.