Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Program Studi Magister Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward menyoroti pemanfaatan frekuensi tak berizin di rentang 5.150—5.350 MHz dan 5.725—5.825 MHz untuk teknologi 4.9G atau LTE Advanced Pro.
Dia berpendapat frekuensi tersebut rawan interferensi dengan jaringan WLAN exsisting, sehingga membuat layanan yang diberikan kepada pelanggan tidak dapat dijamin kualitasnya.
“Berbeda dengan 5G yang license, kualitas layanan bisa dijamin karena setiap operator memiliki frekuensinya sendiri. Terlalu mahal untuk sebuah nama operator jika kualitasnya layanannya buruk hanya karena terkena interferensi,” kata Ian kepada Bisnis, Senin (24/6/2019).
Ian menambahkan kondisi frekuensi yang rawan interferensi, menurutnya, menjadi salah satu alasan operator dan vendor berpikir ulang untuk mengkomersialkan alat atau jaringan dengan teknologi LTE Advanced Pro.
Interferensi adalah interaksi atau gangguan antar gelombang radio di dalam suatu titik tertentu karena saling berdekatan atau bahkan bertabrakan.
Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan izin kelas dan perangkat untuk teknologi 4G LTE Advanced Pro (LAA), melalui PM Kemenkominfo no.1/2019 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Berdasarkan Izin Kelas dan Peraturan Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Perdirjen SDPPI) no.5/2019 tentang Persyaratan Teknis Alat dan/Perangkat Telekomunikasi Bergerak Seluler yang dikeluarkan pada 13 Juni 2019.
4G LTE Advanced Pro menggunakan teknologi License Assisted Access(LAA). Dalam bahasa pemasaran, 4G LTE Advandce Pro dikenal sebagai 4.9G atau teknologi yang satu tingkat dibawah 5G.Teknologi itu akan memanfaatkan frekuensi tak berizin di rentang frekuensi 5.150—5.350 MHz dan 5.725—5.825 MHz.
Hadirnya 4G LTE Advanced Pro awalnya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan internet cepat, sambil menunggu pengembangan teknologi 5G yang saat ini masih menanti sidang World Radio Communication Conference (WRC) ke-4 digelar pada Oktober – November 2019.
Namun sayangnya, dalam praktiknya teknologi ini kurang dilirik oleh operator seluler dan vendor penyedia alat telekomunikasi.