Jack Ma, Jonan & Relevansi Bisnis

Hery Trianto
Jumat, 15 September 2017 | 20:18 WIB
Hery Trianto/Bisnis
Hery Trianto/Bisnis
Bagikan

Dalam dua kesempatan di waktu dan tempat yang berbeda, Menteri ESDM Ignasius Jonan menyelipkan video pidato Jack Ma, Pendiri Alibaba Group—salah satu perusahaan e-commerce terbesar di dunia asal China—dalam materi presentasinya.

Ini adalah cuplikan pidato dalam acara Gateway 17, yang digelar di Detroit, Amerika Serikat, pertengahan tahun ini.

Saya menyaksikan video itu diputar saat Jonan bicara di depan para ekspatriat minyak asal Indonesia yang bekerja di Texas, dalam sebuah pertemuan di Konsulat Jenderal Republik Indonesia Houston pada penghujung Juli 2017. Pemutaran kedua, sebulan kemudian, terjadi dalam focus group discussion soal mobil listrik yang dihadiri seluruh pemangku kepentingan, di Nusa Dua Bali.

Gateway 17 adalah kisah tentang tentang Jack Ma bersama 16 rekannya membawa Alibaba besar seperti sekarang. Cerita bagaimana pria langsing tersebut melakukan yang tidak mungkin, bagaimana menghadapi kegagalan—dia pernah menjadi satu-satunya kandidat yang gagal menjadi pelayan restoran cepat saji KFC dari 24 orang pendaftar—serta menjadikan Alibaba sebagai perusahaan paling dibicarakan dan juga dikagumi.

Jack Ma juga pernah 10 kali ditolak saat mendaftar di Harvard University, lalu berbagi kiatnya. Salah satunya rahasia sukses Alibaba dengan cara merekrut lebih banyak karyawan perempuan. Perempuan, menurutnya, lebih peduli dengan orang lain dibandingkan dengan pria. “Pria, memikirkan dirinya sendiri.”

Pada Abad 21, perempuan akan lebih berkuasa karena pada abad sebelumnya orang diukur dari kekuatan otot. Abad sekarang, orang diperbandingkan karena wisdom. “Rekrut perempuan sebanyak mungkin adalah yang kami lakukan,” tutur Jack Ma, yang beberapa pekan lalu, melalui Alibaba, menginjeksi modal Rp14 triliun ke perusahaan e-commerce Indonesia, Tokopedia.

Berikutnya, Jack Ma memberikan nasihat untuk anak muda. “Jika Anda 20 tahunan, cari perusahaan bagus dan temukan bos hebat untuk belajar menjalankan bisnis. Jika Anda 30, cobalah bekerja untuk diri sendiri. Ketika 40, kerjakan sesuatu yang Anda ahli. Jika Anda 50, silahkan berikan kesempatan pada anak muda. Jika Anda 60, lebih baik menghabiskan waktu dengan cucu.”

Dua kiat yang disampaikan Jack Ma, menyiratkan pesan kuat mengenai dunia yang berubah. Pendulum bisnis juga bergeser. Itulah mengapa Jonan tampak begitu suka dengan pesan ini. Menurutnya, organisasi manapun harus responsif terhadap perubahan lingkungan dan zaman.

Ujungnya, kepada para seratusan ekspatriat Indonesia di AS yang hadir dalam pertemuan itu, Jonan mengatakan bahwa bisnis perminyakan juga telah berubah ke arah pengelolaan sumber alam yang efisien. Model bisnis minyak, dengan demikian juga berbeda dan perlu terus diperbaharui.

Apalagi, dengan harga komoditas yang terjun bebas dari posisi tertingginya pada 2013. Tidak bisa disangkal lagi inovasi disruptif, telah melanda sektor yang sempat beberapa dekade berada dalam zona nyaman; para insinyurnya mendapatkan layanan kelas satu dan gaji selangit.

Di depan para pemangku kepentingan industri otomotif, Jonan juga membawa pesan serupa; teknologi mobil listrik adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, Indonesia tidak bisa menunggu lagi, selain bersiap mengadopsi teknologi dengan segala cara; mengubah spesifikasi pabrikan otomotif, mengimpor mobil utuh, bahkan melarang penjualan kendaraan berbahan bakar minyak pada 2040.

Bila hal itu terjadi, jelas terjadi disrupsi pada industri otomotif Indonesia. Di atas kertas, akan terjadi efisiensi penggunaan bahan bakar fosil, karena mobil listrik tidak tergantung pada salah satu sumber energi. Pertanyaannya, apakah para pelaku industri sudah siap?

Listrik bisa bersumber dari batu bara, tenaga air, angin, sinar matahari, biomassa dan sebagainya. Sedikit sekali saat ini pembangkit di Indonesia yang masih menggunakan bahan bakar solar.

Oleh karena itu, jika masyarakat Indonesia bergeser pada mobil listrik, maka jelas impor minyak mentah 800.000 barel perhari akan berkurang drastis. Dengan harga sekarang, taruhlah US$50 per barel, maka per hari perlu devisa US$40 juta, atau US$14,6 miliar setahun, yang bila dirupiahkan Rp192 triliun!

Perlu dicatat, konsumsi harian bahan bakar minyak di Indonesia adalah 1,6 juta barel, separuhnya bisa diproduksi di dalam negeri. Impor yang berkurang, berarti penggunaan devisa bisa dihemat dan rupiah punya kans lebih besar untuk menguat.

Sebagai sebuah wacana perubahan, tentu saja perhitungan di atas akan diuji oleh sejarah. Namun, penjelasan sangat masuk akal karena toh sumber minyak akan kering. Indonesia tidak sendiri dalam mengantisipasi perubahan ini, seperti yang dilakukan oleh Norwegia, Inggris, Amerika Serikat, Jerman, bahkan India.

Singkat kata, relevansi bisnis kendaraan berbahan bakar minyak akan terus berkurang dalam 10-20 tahun mendatang. Mobilitas orang bisa jadi juga menyusut karena dengan teknologi orang bisa bekerja di mana pun. Tatap muka tentu masih penting, tetapi seperlunya saja.

***

Beberapa pekan terakhir, saya bertemu dengan sejumlah bankir kawakan. Saya sebut kawakan karena rata-rata mereka telah berkarir di industri keuangan ini lebih dari seperempat abad. Anehnya, semua menyimpan kekhawatiran, apakah bisnis bank kelak masih relevan di tengah arus besar ekonomi digital yang melanda dunia.

Anika Faisal, Direktur PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. (BTPN) adalah salah satunya. Baginya, ekonomi digital, telah mengubah dengan cepat lansekap industri perbankan, yang saat ini masih menguasai 70% aset di sistem keuangan Indonesia. “Apakah kehadiran cabang bank masih diperlukan saat sebagian besar transaksi telah bisa dilakukan secara digital?” tanya Anika.

Pertanyaan ini sebenarnya retoris, karena lembaga keuangan seperti BTPN telah mengantisipasi dengan mengembangkan digital banking, lebih dari yang bank-bank lain lakukan. Mereka memiliki BTPN WOW!, sebuah upaya memperluas pasar di akar rumput dengan menjadikan nomor telepon genggam sebagai rekening.

Dengan produk bernama Genius, bank ini juga bisa melayani pembukaan rekening melalui aplikasi ponsel, dan hanya memerlukan sekali verifikasi dari stafnya dengan cara mendatangi nasabah. BTPN, yang dulunya adalah bank pensiunan dengan nasabah menua, rela merogoh investasi hampir Rp1 triliun untuk pengembangan teknologi.

Bahkan, BTPN menyulap salah satu lantai di kantor pusat kawasan Mega Kuningan Jakarta Selatan, sebagai ajang inovasi pengembangan fintech yang dikemas layaknya kantor perusahaan rintisan, dengan karyawan generasi millennials. Mereka seperti sedang mengosongkan gelas, lalu membiarkan terisi hal-hal baru dari anak-anak muda yang direkrutnya.

Namun, dari yang saya tangkap, BTPN terlihat memiliki strategi yang belum selesai, termasuk dalam mempercepat perubahan dengan melibatkan seluruh karyawan.

Di bank lain, seperti PT CIMB Niaga Tbk, (BNGA) malah lebih dulu mengambil langkah taktis, mereduksi 1.200 orang karyawan—sekitar 10% dari total pekerja—seiring dengan makin berkurangnya transaksi perbankan melalui cabang.

Saat berkunjung ke kantor Bisnis Indoneia, bulan lalu, Presiden Direktur Bank CIMB Niaga Tigor Siahaan menyebut, 93% transaksi perbankan harian bank dikelolanya melalui digital.

Adapun, Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) Jahja Setiaatmadja, 97% dari 18 juta transaksi harian BCA kini dilakukan secara digital, kendati 3% sisanya masih mendominasi volume transaksi hingga 56%.

Tantangan bank juga tidak berhenti pada cara bertransaksi. Namun, juga dengan tuntutan layanan yang jauh lebih efisien. Sebutlah dalam hal pencairan kredit yang memakan waktu. Pesaing bank bukan lagi perusahaan rintisan yang menciptakan ekosistem keuangan baru, murah dan cepat, tetapi juga perusahaan lain, misalnya industri telekomunikasi.

Melalui layanan uang elektronik, perusahaan telekomunikasi seperti PT Indosat Tbk. dan PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) bisa menghimpun dana triliunan rupiah. GoJek—perusahaan transportasi online yang telah memiliki 30 juta pelanggan—mengembangkan Go Pay sebagai alat pembayaran baru berbagai transaksi dan separuh pelanggan telah rela menaruh sejumlah uang di layanan pembayaran virtual itu.

Sebagaimana perusahaan minyak, bank kini juga memerlukan renovasi model bisnis agar tetap relevan. Bahkan, kalau mau jujur, semua industri kini punya tantangan yang sama dalam menghadapi peralihan ekonomi digital saat ini.

Ujungnya, ilmu manajemen mungkin harus dibongkar pasang, karena apa yang kita pelajari dan kembangkan tahun lalu, belum tentu relevan saat ini. Korporasi selayaknya terus mencari model bisnis baru, agar tak cepat lekang dimakan perubahan

 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Hery Trianto
Editor : Rahayuningsih
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper