Author

Muhammad Muchlas Rowi

Komisaris Independen PT Jamkrindo/Dosen S3 Ilmu Hukum Universitas Borobudur

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Janji Sejati AI dalam Pendidikan

Muhammad Muchlas Rowi
Sabtu, 17 Mei 2025 | 12:52 WIB
Cloud computing dan internet of things/ilustrasi
Cloud computing dan internet of things/ilustrasi
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Kecerdasan ar­­­tifisial (AI) ber­­­­kembang jauh lebih ce­­­­pat dari yang dibayangkan. Dalam hitungan bulan, ming­­gu, bahkan hari, teknologi yang dulu hanya bisa dibaca di jurnal ilmiah kini menjadi bagian dari kehidupan se­­­ha­ri-hari.

Kecerdasan ar­­­tifisial (AI) ber­­­­kembang jauh lebih ce­­­­pat dari yang dibayangkan. Dalam hitungan bulan, ming­­gu, bahkan hari, teknologi yang dulu hanya bisa dibaca di jurnal ilmiah kini menjadi bagian dari kehidupan se­­­ha­ri-hari.

Mulai dari menjawab pertanyaan, menulis esai, hingga menghasilkan gambar dan suara layaknya manusia. Du­­­nia bergerak cepat, dan pen­­­didikan tak punya pilihan selain beradaptasi dengan lompatan teknologi ini.

AI tak sekadar alat bantu. Dia menjelma menjadi mitra dalam proses belajar. Bukan untuk menggantikan guru, melainkan memperkuat kapasitas guru dalam menciptakan pengalaman belajar yang le­bih personal, efisien, dan berdampak.

Teknologi ini menawarkan janji dan peluang besar untuk menyusun ulang cara kita memahami belajar: dari sistem satu arah menjadi dua arah, atau bahkan multi arah, sehingga pembelajaran bisa lebih adaptif dan bermakna.

Sejak John Hopfield mem­­­perkenalkan jaringan sa­­­raf tiruan sebagai bentuk memori asosiatif pada awal 1980-an, pondasi AI mulai terbangun. Karyanya membuka jalan bagi mesin untuk mengenali dan mengingat pola seperti manusia.

Geoffrey Hinton kemudian melanjutkan tongkat estafet itu dengan melahirkan teknik back­­­propagation, yang me­­­mung­­­kinkan sistem Ai ‘belajar’ dari kesalahan dan menyempurnakan diri. Fondasi inilah yang hari ini menopang algoritma AI dalam banyak sektor, termasuk pendidikan.

Perkembangan pesat AI, terutama melalui pembelajaran mesin (machine learning/ML), telah menghadirkan eko­­­sistem pembelajaran yang semakin cerdas. ML me­­mung­­­kinkan sistem mengana­lisis data siswa secara real-time: mengenali pola, menyesuaikan materi, dan bahkan memprediksi kesulitan yang akan datang.

Ini bukan teori. Aplikasi seperti Duolingo sudah melakukannya—menyesuaikan pelajaran bahasa berdasarkan kecepatan dan capaian pengguna. Chatbot berbasis NLP membantu menjawab pertanyaan siswa, dan sistem analitik memberi umpan balik mendalam bagi guru.

Dampaknya luar biasa. Pembelajaran menjadi lebih personal. Intervensi bisa lebih dini. Umpan balik bisa lebih tajam dan relevan. Guru tidak lagi bekerja sendirian. Mereka didukung oleh sistem yang bisa menunjukkan tren belajar, memberi saran materi, hingga membantu menyusun asesmen adaptif. Siswa pun tidak lagi belajar dengan model ‘satu ukuran untuk semua’, melainkan dengan jalur yang sesuai dengan gaya dan kecepatan mereka.

Namun, teknologi hanyalah alat. Kuncinya tetap pada bagaimana kita menggunakannya. Banyak negara telah lebih dulu memulai integrasi AI ke dalam pendidikan. Amerika Serikat, Finlandia, hingga Korea Selatan telah memasukkan pelajaran AI ke dalam kurikulum sejak sekolah dasar. Mereka tidak hanya mengajarkan cara kerja teknologi, tetapi juga membentuk pemahaman etis dan kritis terhadapnya. Tujuannya bukan hanya mencetak pengguna AI, tapi manusia yang memahami nilai dan risikonya.

Indonesia bergerak ke arah yang sama. Mulai 2025, Ke­­­­­­­men­­terian Pendidikan Da­­­­sar dan Menengah (Ke­­­men­­­dik­­­dasmen) akan memperkenalkan Koding dan Kecerdasan Artifisial (KA) sebagai mata pelajaran pilihan di SD, SMP hingga SMA dan SMK. Ini adalah langkah strategis yang bukan hanya relevan, tetapi juga progresif. Terutama karena pendekatan yang di­­ambil bersifat bertahap, kontekstual, dan inklusif untuk memastikan daerah 3T pun ikut serta.

Menjawab Tantangan

Namun, setiap peluang membawa tantangan. Ke­­­sen­­­jangan digital masih nyata. Akses internet, kompetensi guru, keamanan data, dan bias algoritma menjadi isu yang tak boleh diabaikan. Terlebih, ada kekhawatiran bahwa KA justru akan menggusur peran guru. Inilah narasi yang harus diluruskan.

Dia justru memperkuat pe­­­ran guru sebagai pendidik se­­­­­jati. Teknologi dapat membantu menganalisis data belajar, menyusun laporan, bahkan memberikan materi. Tapi hanya guru yang bisa memahami konteks sosial, emosi, dan potensi murid secara menyeluruh. KA mungkin tahu kapan murid gagal, tapi hanya guru yang tahu kenapa ia menyerah.

Dengan dukungan teknologi, guru bisa kembali pada fungsi intinya: membimbing, menginspirasi, dan menemani proses be­­­lajar yang penuh makna. Re­­­flek­­­si ini sejalan dengan semangat OECD Learning Compass 2030 dan kerangka kerja UNESCO tentang KA dan pendi­dikan: bahwa masa depan bukan hanya soal keterampilan teknis, tapi juga nilai, etika, dan keberlanjutan.

Indonesia memiliki peluang emas untuk menjadi pelopor pendidikan berbasis KA yang inklusif dan humanis di Asia Tenggara. Syaratnya: semua pihak harus bergerak bersama. Pemerintah sebagai regulator, guru sebagai penggerak, masyarakat sebagai pendukung, dan pelajar sebagai subjek aktif. Ini bukan beban kebijakan. Ini adalah agenda kebangsaan.

Kurikulum Koding dan KA juga telah dirancang untuk menumbuhkan pola pikir reflektif, kolaboratif, dan komputasional—yakni kemampuan memecahkan masalah secara sistematis dan logis laiknya cara kerja mesin. Siswa tidak hanya diajak paham teknologi, tetapi juga diminta bertanya: untuk apa teknologi ini digunakan? Dalam dunia yang makin rumit, pertanyaan semacam ini jauh lebih penting daripada sekadar hafalan.

Pada akhirnya, pendidikan adalah soal membentuk manusia. KA hanyalah alat. Dia bisa menjadi jembatan yang memperluas akses dan memperkuat mutu. Tapi jika disalahgunakan, dia juga bisa menjadi tembok yang memperlebar kesenjangan. Di sinilah pentingnya kesadaran. Bahwa teknologi boleh terus berubah, tapi komitmen untuk memanusiakan pendidikan tak boleh tergantikan.

Jika kecerdasan artifisial digunakan dengan bijak, maka pendidikan tak hanya menjadi ruang belajar, tetapi ruang pembebasan. Tempat di mana setiap anak—dari kota hingga pelosok—dapat merasakan janji sejati dari teknologi: hak untuk bermimpi, kesempatan untuk tumbuh, dan peluang yang adil untuk bersaing di panggung dunia.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper