Keraguan Komdigi di Balik Rencana Insentif Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi

Leo Dwi Jatmiko
Jumat, 16 Mei 2025 | 18:18 WIB
Teknisi melakukan perawatan menara BTS di Jakarta, Selasa (19/3/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha
Teknisi melakukan perawatan menara BTS di Jakarta, Selasa (19/3/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Ismail menegaskan pemberian insentif biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi kepada operator seluler untuk penyelamatan industri telekomunikasi harus dilakukan secara hati-hati, terukur, dan akuntabel. Ada kekhawatiran jika insentif diberikan secara cuma-cuma. 

Ismail menjelaskan pemerintah sangat memahami pentingnya relaksasi biaya regulatory cost bagi kesehatan industri, namun proses ini membutuhkan waktu karena pengambilan keputusan memerlukan koordinasi lintas kementerian dan lembaga.

Dia menyoroti pentingnya insentif yang diberikan harus memiliki sasaran yang jelas dan dampak yang bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan operator seluler. 

“Harus bisa akuntabel, katakan pemerintah yang tadinya menerima 100 sekarang hanya menerima 70, kan ada 30 yang tidak diterima. Nah 30 ini jadi apa? Iya itu harus kalkulitif gitu … harus bisa dipertanggungjawabkan impact-nya, bagaimana cara menghitungnya dan sebagainya,” kata Ismail kepada Bisnis, Kamis (15/5/2025). 

Ismail khawatir jika pertanggungjawaban tidak jelas dan akuntabel, insentif yang diberikan hanya menjadi ruang untuk membayar utang atau diambil oleh pemegang saham tanpa manfaat langsung bagi masyarakat. 

Setiap relaksasi atau penurunan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) harus benar-benar dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur digital yang nyata dan berdampak luas.

Ismail mengajak seluruh pemangku kepentingan, termasuk asosiasi seperti ATSI dan APJII, untuk membantu pemerintah menghitung secara riil multiplier effect dari relaksasi biaya regulasi. Dia menekankan pentingnya permodelan dan data kuantitatif untuk membuktikan bahwa insentif yang diberikan benar-benar mendorong investasi dan pembangunan nyata.

"Berapa industri yang di-support, berapa UMKM yang di-support, berapa mencerdaskan anak-anak di sekolah dan sebagainya itu mari kita kuantifikasi. Artinya ini masalah isu permodelan," kata Ismail.

Menurutnya, tanpa data dan angka yang jelas, akan sulit bagi pemerintah untuk berargumentasi di hadapan pihak-pihak yang selama ini menganggap industri telekomunikasi sebagai sektor yang sudah mapan dan tidak membutuhkan dukungan insentif pemerintah.

Sejalan dengan pernyataan Ismail, para operator seluler di Indonesia juga telah lama menyuarakan harapan agar rasio biaya regulator terhadap pendapatan cukup maksimal 5%. Berdasarkan data Bisnis.com pada 9 November 2023, saat ini beban biaya regulator di Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara yaitu sebesar 12,5%. 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper