Wamenkominfo Ungkap Peran AI dalam Merevolusi Sektor Publik di AS - India

Rika Anggraeni
Rabu, 21 Agustus 2024 | 07:20 WIB
Sentuhan kecerdasan buatan di sektor publik/ilustrasi
Sentuhan kecerdasan buatan di sektor publik/ilustrasi
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan Amerika Serikat dan India telah mengadopsi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang berdampak terhadap sistem pendidikan dan kesehatan di negara tersebut.

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria mengatakan bahwa adopsi AI telah membantu mensejahterakan masyarakat, baik dari sisi pendidikan maupun layanan kesehatan. Seiring dengan hal itu, Indonesia bisa belajar dari sederet negara yang telah mengadopsi AI.

“Untuk implementasi, kita dapat belajar dari negara yang gunakan AI di berbagai sektor terutama layanan publik, dalam rangka memberikan banyak kebaikan di masyarakat,” kata Nezar dalam acara Sarasehan Nasional: Peluncuran Transformasi Policy Manifesto, Rekomendasi untuk Optimalisasi Ekonomi Digital Indonesia di Jakarta, Selasa (20/8/2024).

Nezar memberi contoh India yang memiliki lembaga pendidikan untuk melakukan penilaian internal pada ujian yang dilakukan di sekolah. Pemanfaatan AI ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas kurikulum pendidikan.

Adopsi AI juga merembet ke sektor kesehatan dalam hal pelayanan publik. Berkaca dari kasus di Rwanda, misalnya, Nezar bercerita bahwa di sana terjadi keterbatasan ahli radiologi. Namun, setelah menggunakan teknologi AI dengan tepat, pelayanan radiologi menjadi jauh lebih efisien.

“Adopsi teknologi AI di sektor kesehatan ini sangat maju, belakangan dan mungkin juga profesi sebagai ahli radiologi kemungkinan akan digantikan AI. ini satu aspek yang menarik utk dibicarakan bagaimana adopsi AI dengan sejumlah profesi dan dampaknya,” ujarnya.

Bukan hanya itu, Nezar menuturkan bahwa pendidikan dokter spesialis di Amerika juga menggunakan AI, seperti pendidikan dokter bedah di sejumlah rumah sakit spesialis bedah dengan menjadikan sebuah data besar (big data).

“Semua best practice dalam bedah oleh ahli bedah yang sudah berpengalaman direkam ke AI. Tangan dokter bedah yang sudah profesional dikasih kabel waktu membedah, semua pattern, gerakan, bedah tertentu, tulang, itu direkam cara memotong, dijadikan big data,” jelasnya.

Dengan begitu, hal itu akan mempermudah dalam mentransfer pengetahuan dan memberikan kesempatan lebih banyak kepada para calon ahli bedah untuk belajar.

Selanjutnya di negara tetangga, Singapura yang mengadopsi AI untuk menangani lanjut usia (lansia) menggunakan care bot atau robot yang dirancang untuk membantu perawatan lansia. Kondisi ini mengingat populasi lansia di Singapura yang diperoyeksi akan meningkat hingga 900.000 pada 2030.

Namun demikian, Wamenkominfo juga mengingatkan agar perlu mengantisipasi berbagai dampak negatif dari penggunaan AI yang tidak tepat. Salah satunya penyalahgunaan teknologi deepfake.

Menurut Nezar, agar pemanfaatan kecerdasan buatan dapat digunakan secara bertanggung jawab dan produktif, maka dibutuhkan tata kelola. Setidaknya, ada enam prinsip dalam tata kelola AI di global yang perlu menjadi perhatian.

Pertama, prinsip save. Pada prinsip ini penting untuk memastikan keselamatan dan keamanan developer dan pengguna AI. Kedua, ethical. Artinya, pengembangan, penerapan, dan penggunaan AI perlu memperhatikan prinsip etika, sosial, dan HAM.

Ketiga, trustworthy, yakni memastikan sistem AI dapat dipercaya, diandalkan dan, dipertanggungjawabkan. Lalu prinsip yang keempat adalah fairness dan non-discrimination. Prinsip ini dilakukan dengan cara memastikan pengembangan dan pemanfaatan AI dilakukan secara adil dan tidak diskriminatif, serta dapat menghindari potensi bias dalam algoritma dan data AI.

“Ini menjadi isu cukup kritikal di tengah masyarakat demokratis, inklutivitas pluralisme perlu dijaga. Di sisi lain, produk AI masih mengandung bias cukup besar, termasuk bias gender, suku, dan agama. Tentu saja dia bisa memicu memproduksi information disorder karena bias akan berdampak serius pada pluralisme sosial dan sebagainya,” tambahnya.

Kelima, inclusion dan participation. Pada prinsip yang harus dilakukan adalah mendorong pengembangan AI melalui pendekatan yang kolaboratif.

Terakhir atau keenam, accountabilty. Nezar menjelaskan bahwa ini merupakan prinsip yang sangat penting untuk penyelenggaraan sistem eleketronik (PSE). Di mana, PSE harus bertanggung jawab atas hasil dari sistem AI yang mereka gunakan atau ciptakan untuk mencegah penyalahgunaan dan trust pada teknologi AI.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rika Anggraeni
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper