Kemenkominfo Tunggu Draf RUU Penyiaran dari DPR, Liputan Investigasi jadi Sorotan

Rika Anggraeni
Rabu, 3 Juli 2024 | 14:28 WIB
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria menyampaikan pemaparan saat acara Diskusi Publik Menyiapkan Regulasi AI yang Bertanggung Jawab dan Terpercaya untuk Indonesia di Jakarta, Rabu (26/6/2024)/JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria menyampaikan pemaparan saat acara Diskusi Publik Menyiapkan Regulasi AI yang Bertanggung Jawab dan Terpercaya untuk Indonesia di Jakarta, Rabu (26/6/2024)/JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengaku hingga saat ini belum menerima draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran dari Komisi I DPR.

Hal itu diungkapkan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria dalam forum Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Masa Depan Penyiaran Pasca ASO & Disrupsi Digital’ di Jakarta, Rabu (3/7/2024).

Nezar mengatakan bahwa proses penyusunan RUU Penyiaran merupakan inisiatif yang dilakukan Komisi I DPR.

“Proses penyusunan RUU Penyiaran adalah inisiatif Komisi I DPR dan tahapannya belum sampai pembahasan bersama pemerintah, jadi kami belum menerima resmi draf dari Komisi I DPR terkait RUU Penyiaran,” ungkap Nezar.

Namun, Nezar menyampaikan bahwa terdapat isu dari draf RUU Penyiaran yang beredar di masyarakat, yakni isu kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap jurnalistik investigasi dan pengaturan platform digital atau dikenal dengan over the top (OTT).

Nezar menuturkan bahwa terkait isu jurnalistik investigasi, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi telah menyampaikan bahwa jurnalistik harus bersifat investigatif dan sudah terdapat peran dari Dewan Pers.

“Jadi apa yang diatur di dalam RUU Penyiaran ini akan bertindihan dengan apa yang menjadi wewenang dari Dewan Pers,” ujarnya.

Lebih lanjut, Nezar menuturkan bahwa UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang berlaku hingga saat ini perlu dilakukan penyesuaian agar relevan dengan kebutuhan industri saat ini.

Kala itu, kata Nezar, kegiatan penyiaran lebih dominan dilakukan secara terestrial, baik radio maupun televisi. Berbeda dengan kondisi yang terjadi saat ini. Menurutnya, ada perubahan perilaku dalam mengabsorpsi platform-platform komunikasi.

“Saat ini kondisi telah mengalami perubahan dan pergeseran yang disebabkan oleh kebiasaan bermedia dari masyarakat, khususnya dengan munculnya gen Z yang lahir sebagai digital native, atau sudah terbiasa dengan gadget atau berinternet,” tuturnya.

Berdasarkan catatan Bisnis, peraturan baru mengenai penyiaran akan melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Peraturan tersebut nantinya termuat dalam draf RUU Penyiaran, yang terungkap dalam bahan rapat Badan Legislasi (Baleg) 27 Maret 2024,

Dalam draf RUU Penyiaran itu dijelaskan bahwa di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan enam Pasal, yakni Pasal 50A, Pasal 50B, Pasal 50C, Pasal 50D, Pasal 50E, dan Pasal 50F.

Pasal terkait larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi tercantum dalam Pasal 50B ayat (2) huruf c. Beleid itu berbunyi bahwa selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran, Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Penolakan

Dijelaskan, SIS merupakan standar atas isi suara dan konten suara yang berisi tentang batasan, larangan, kewajiban, dan pengaturan penyiaran, serta sanksi pedoman perilaku penyiaran (P3) yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 

Pengamat menilai larangan siaran eksklusif jurnalisme investigasi yang dimuat di dalam draf RUU Penyiaran tidak mencerminkan pokok dari UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pengamat media Ignatius Haryanto memandang bahwa Pasal 50B ayat (2) huruf c dalam draf RUU Penyiaran merupakan suatu hal yang aneh. Sebab, masih terlalu sedikit media yang memiliki kemampuan untuk melakukan jurnalisme investigasi.

“Kalau ada regulasi secara spesifik melarang tayangan jurnalisme investigasi, buat saya ini sangat aneh, dan mungkin tidak mencerminkan bahwa pembuatnya ini paham dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pers diakui sebagai alat kontrol sosial kepada pemerintah,” ujar Ignatius kepada Bisnis, Senin (13/5/2024).

Menurutnya, masyarakat akan sangat terbantu dengan adanya jurnalisme investigasi yang dapat membongkar hal-hal yang selama ini merugikan publik.

Ignatius menyampaikan bahwa semestinya UU Penyiaran perlu dilakukan revisi mengingat UU Nomor 32 Tahun 2002 ini yang sudah berusia 22 tahun, termasuk terkait konvergensi, digitalisasi, hingga aturan lainnya. Artinya, ungkap dia, UU Penyiaran telah mengalami banyak ketertinggalan. 

“Saya kok merasa memang bahwa banyak politisi kita tidak suka dengan kebebasan pers, karena kebebasan pers pada akhirnya juga akan menyasar mereka sendiri,“ tuturnya.

Untuk itu, Ignatius menilai bahwa revisi draf RUU Penyiaran harus melihat kepentingan yang lebih luas, mulai dari kepentingan publik hingga perkembangan teknologi.

“Sehingga revisi undang-undang penyiaran memang sesuai dengan harapan publik, bukan harapan dari partai politik ataupun pemilik media,” ungkapnya.

Di sisi lain, Ignatius menyebut KPI juga perlu dilakukan perbaikan. Menurutnya, KPI sejauh ini mencoba untuk mengawasi dunia penyiaran meski belum berjalan optimal.

Halaman:
  1. 1
  2. 2

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rika Anggraeni
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper