Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat Telekomunikasi menilai ongkos regulator atau regulatory charges yang dikenakan pemerintah kepada Starlink sangat rendah. Pemerintah didorong untuk mengubah skema perhitungan regulator agar kontribusi Starlink ke Indonesia makin signifikan, mengingat rerata pendapatan yang mereka raup per pelanggan (ARPU) jauh melampaui operator seluler dan fixed broadband.
Berdasarkan dokumen yang diterima Bisnis, Kemenkominfo hanya mengenakan biaya hak penggunaan (BHP) Izin Stasiun Radio (ISR) satelit ke Starlink. Sementara itu ARPU yang dibukukan Starlink mencapai Rp2 juta - Rp3 juta per bulan. Lebih tinggi dari seluler (Rp40.000) dan pemain fixed broadband sebesar Rp300.000 untuk 50 Mbps.
Akademisi ITB Agung Harsoyo mengatakan bahwa jumlah BHP ISR yang dikenakan Kemenkominfo ke Starlink juga hanya dihitung 1 unit satelit dengan nilai maksimal Rp2 miliar per tahun. Padahal satelit Starlink yang memancar di Indonesia lebih dari 200 unit.
Sementara itu, BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) yang ditanggung operator seluler dan dibayarkan ke kas negara pada 2023 mencapai Rp 21,1 triliun.
Dia menyarankan agar pemerintah, termasuk Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, untuk mengenakan BHP ke Starlink berdasarkan jumlah satelit yang memancar di Indonesia.
“Saat ini operator satelit nasional dikenakan BHP ISR berdasarkan jumlah kepemilikan satelitnya. Jika operator memiliki 2 satelit, mereka harus membayar BHP ISR sebanyak satelit yang dimiliki,” kata Agung, Rabu (19/6/2024).
Agung yang juga mantan anggota BRTI mengatakan dengan perubahan perhitungan BHP ISR ,Starlink nantinya dapat meningkatkan PNBP negara dan menciptakan iklim persaingan usaha.
Perubahan metode perhitungan berdasarkan satelit Starlink yang memancar ini mirip seperti yang diterapkan pemerintah saat memungut PNBP sektor transportasi udara. Pemerintah menarik pendapatan berdasarkan jumlah pesawat yang melintas di Indonesia. Bukan per perusahaan penerbangan.
“Jika metode BHP ISR dihitung per satelit yang beroperasi di Indonesia, kontribusi Starlink bagi PNBP sektor telekomunikasi sangat signifikan,” kata Agung.
Selain beban regulasi, permasalahan dalam menyediakan layanan internet di Indonesia menurut Agung adalah sulitnya akses yang disebabkan mahalnya biaya penggelaran jaringan serat optik karena kondisi geografis yang menantang.
Geografis Indonesia dipenuhi dengan kepulauan dan pegunungan yang membuat ongkos gelar jadi mahal. Daerah-daerah yang tak terjangkau serat optik ini lah menurutnya yang harus dilayani oleh Starlink.
“Agar tak ada fiksi dan tumpang tindih penyediaan jaringan internet di Indonesia, harusnya Luhut menempatkan Starlink sebagai penyedia akses bagi operator telekomunikasi yang hendak menyediakan layanan di daerah yang lokasinya menantang,” kata Agung.
Sebelumnya, CEO X dan SpaceX, Elon Musk mengungkap akan meluncurkan Starlink Mini dalam beberapa bulan ke depan ke area tertentu. Starlink Mini ini hadir dengan ukuran seperti tablet, yakni 11.4 inci x 9.8 inci. Harga bakal makin murah dan muat di ransel.
Dilansir dari PCMag, Selasa (18/6/2024), akhir pekan lalu, perusahaan merilis pembaruan pada aplikasi Starlink, yang kabarnya menyertakan halaman untuk produk yang akan datang.
Dalam cuitan di platform X, seorang insinyur di Ukraina Oleg Kutkov mengatakan dia dapat mendekompilasi pembaruan untuk menemukan gambar resmi antena Starlink Mini.
Gambar tersebut mengonfirmasi bahwa model Starlink Mini akan menjadi versi yang lebih kecil dan lebih portabel dari antena parabola Starlink standar V4 saat ini. Kedua perangkat memiliki fitur kick stand. Namun, Mini Dish seharusnya seukuran Apple MacBook, menurut dokumen FCC.
Elon Musk pun ikut mengomentari gambar tersebut dan mengklaim dirinya sudah menggunakan perangkat Starlink Mini melalui luar angkasa. Bahkan, dia juga menyebut Starlink versi mini dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam ransel.
“Butuh waktu kurang dari 5 menit. Mudah dibawa dalam ransel. Produk ini akan mengubah dunia,” tulis Elon Musk dalam akun X miliknya. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)