Starlink Elon Musk Punya Kapasitas 23,7 Tbps, Lebih Besar dari OneWeb Cs

Rika Anggraeni
Selasa, 18 Juni 2024 | 19:05 WIB
Satelit SpaceX meluncurkan 12 Starlink dari Florida, Amerika Serikat/dok. Tangkapan layar SpaceX
Satelit SpaceX meluncurkan 12 Starlink dari Florida, Amerika Serikat/dok. Tangkapan layar SpaceX
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Layanan internet berbasis satelit orbit bumi rendah Starlink milik Elon Musk diperkirakan memiliki kapasitas total throughput yang sangat besar hingga 23,7 Terabits per second (Tbps), lebih besar dibandingkan dengan satelit orbit rendah (low earth orbit/LEO) lainnya seperti OneWeb.

Berdasarkan pemaparan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) saat berkunjung ke Bisnis Indonesia, dikutip pada Selasa (18/6/2024), diperkirakan setiap satelit Starlink memiliki kapasitas total throughput mencapai 23,7 Terabits per detik (Tbps).

Sementara itu, OneWeb memiliki estimasi kapasitas mencapai 1,56 Tbps per satelit. Sedangkan Telesat memiliki 15 Tbps per satelit. Perbandingan kapasitas throughput ini menegaskan posisi Starlink sebagai pemimpin dalam industri jaringan satelit, terutama di konstelasi satelit LEO.

Lebih lanjut, Starlink sendiri mengorbit pada ketinggian sekitar 560 kilometer (km) di atas permukaan bumi. Proyek SpaceX milik Elon Musk ini memproyeksikan belanja modal (Capex) sebesar US$10 miliar atau sekitar Rp164,21 triliun (kurs Rp16.421 per dolar AS).

Sementara itu, OneWeb yang beroperasi di orbit sekitar 1.200 km diestimasi memiliki belanja modal sebesar US$2,4 miliar atau sekitar Rp39,41 triliun. Lalu, Telesat yang berada di orbit 1.000 km mengalokasikan capex senilai US$5 miliar atau sekitar Rp82,1 triliun.

Adapula, Amazon dengan Project Kuiper yang memiliki orbit antara 590–630 km mengestimasi alokasi capex senilai US$10 miliar atau sekitar Rp164,21 triliun.

Keempat konstelasi satelit tersebut membidik pasar yang mencakup backhaul seluler, fixed and mobile broadband, dan pemerintahan.

ATSI menambahkan, terdapat pro dan kontra dari kehadiran Starlink di Indonesia. Jika tidak ada pengawasan, ATSI melihat Starlink berpotensi melakukan predatory pricing sehingga bisa mengancam bisnis operator telekomunikasi eksisting, baik operator seluler, operator FTTH, jartup VSAT, operator satelit geostationer (GSO), penyelenggara jasa internet (internet service provider/ISP), maupun penyelenggara menara.

Selain itu, Starlink juta berpotensi dapat mengganggu penetrasi serat optik, terutama di daerah pedesaan atau terpencil

Meski demikian, masuknya Starlink ke Indonesia berpotensi dapat meningkatkan kecepatan internet broadband Tanah Air. Serta, mempercepat penetrasi internet broadband khususnya di Ibu Kota Nusantara (IKN), daerah terpencil, pedesaan, blankspot dan non-ekonomi yang sulit dibangun oleh operator teresterial.

Di samping itu, layanan internet Starlink juga dapat mempercepat implementasi program pemerintah di bidang kesehatan, pendidikan, dan sektor lainnya di wilayah terpencil atau remote.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Rika Anggraeni
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper